Got My Cursor @ 123Cursors.com

Peringatan Aneh

01.46 |

Suatu hari Abu Nawas dipanggil Baginda.
"Abu Nawas." kata Baginda Raja Harun Al Rasyid memulai pembicaraan.
"Daulat Paduka yang mulia." kata Abu Nawas penuh takzim.
"Aku harus berterus terang kepadamu bahwa kali ini engkau kupanggil bukan
untuk kupermainkan atau kuperangkap. Tetapi aku benar-benar memerlukan
bantuanmu." kata Baginda bersungguh-sungguh.
"Gerangan apakah yang bisa hamba lakukan untuk Paduka yang mulia?" tanya
Abu Nawas.

"Ketahuilah bahwa beberapa hari yang lalu aku mendapat kunjungan
kenegaraan dari negeri sahabat. Kebetulan rajanya beragama Yahudi. Raja itu
adalah sahabat karibku. Begitu dia berjumpa denganku dia langsung
mengucapkan salam secara Islam, yaitu Assalamualaikum (kesejahteraan buat
kalian semua) Aku tak menduga sama sekali. Tanpa pikir panjang aku
menjawab sesuai dengan yang diajarkan oleh agama kita, yaitu kalau mendapat
salam dari orang yang tidak beragama Islam hendaklah engkau jawab dengan
Wassamualaikum (Kecelakaan bagi kamu) Tentu saja dia merasa tersinggung.
Dia menanyakan mengapa aku tega membalas salamnya yang penuh doa
keselamatan dengan jawaban yang mengandung kecelakaan. Saat itu sungguh
aku tak bisa berkata apa-apa selain diam. Pertemuanku dengan dia selanjutnya
tidak berjalan dengan semestinya. Aku berusaha menjelaskan bahwa aku hanya

melaksanakan apa yang dianjurkan oleh ajaran agama Islam. Tetapi dia tidak
bisa menerima penjelasanku. Aku merasakan bahwa pandangannya terhadap
agama Islam tidak semakin baik, tetapi sebaliknya. Dan sebelum kami berpisah
dia berkata: Rupanya hubungan antara. kita mulai sekarang tidak semakin baik,
tetapi sebaliknya. Namun bila engkau mempunyai alasan laih yang bisa aku
terima, kita akan tetap bersahabat." kata Baginda menjelaskan dengan wajah
yang amat murung.
"Kalau hanya itu persoalannya, mungkin, hamba bisa memberikan alasan yang
dikehendaki rajaf sahabat Paduka itu yang mulia." kata Abu Nawas meyakinkan
Baginda.
Mendengar kesanggupan Abu Nawas, Baginda amat riang. Beliau berulang-ulang
menepuk pundak Abu Nawas. Wajah Baginda yang semula gundah gulana
seketika itu berubah cerah secerah matahari di pagi hari.
"Cepat katakan, wahai Abu Nawas. Jangan biarkan aku menunggu." kata
Baginda tak sabar.
"Baginda yang mulia, memang sepantasnyalah kalau raja Yahudi itu
menghaturkan ucapan salam keselamatan dan kesejahteraan kepada Baginda.
Karena ajaran Islam memang menuju keselamatan (dari siksa api neraka) dan
kesejahteraan (surga) Sedangkan Raja Yahudi itu tahu Baginda adalah orang
Islam. Bukankah Islam mengajarkan tauhid (yaitu tidak menyekutukan Allah
dengan yang lain, juga tidak menganggap Allah mempunyai anak. Ajaran tauhid
ini tidak dimiliki oleh agama-agama lain termasuk agama yang dianut Raja
Yahudi sahabat Paduka yang mulia. Ajaran agama Yahudi menganggap Uzair

Allah dari segala sangkaan mereka.Tidak pantas Allah mempunyai anak.
Sedangkan orang Islam membalas salam dengan ucapan Wassamualaikum
(kecelakaan bagi kamu) bukan berarti kami mendoakan kamu agar celaka.
Tetapi semata-mata karena ketulusan dan kejujuran ajaran Islam yang masih
bersedia memperingatkan orang lain atas kecelakaan yang akan menimpa
mereka bila mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan yang keliru itu,
yaitu tuduhan mereka bahwa Allah Yang Maha Pengasih mempunyai anak." Abu
Nawas menjelaskan.
Seketika itu kegundahan Baginda Raja Harun Al Rasyid sirna. Kali ini saking
gembiranya Baginda menawarkan Abu Nawas agar memilih sendiri hadiah apa
yang disukai. Abu Nawas tidak memilih apa-apa karena ia berkeyakinan bahwa
tak selayaknya ia menerima upah dari ilmu agama yang ia sampaikan.
Read More

Empat Perempuan dalam Perut Babi3

01.44 |

Mencapai pelataran rumah Sekar, termangu di bawah pohon kersen
yang berbuah lebat, ranum-ranum kemerahan, mengapa yang
kutemui malah wajah pucat perempuan itu? Ia tinggal di lingkungan
rumah-rumah tua, yang kebanyakan belum lagi dipugar, dengan
Eyang Putri, Ibu, dan adik perempuannya. Rupanya perempuan
berumur tiga puluhan itu tak pernah menghiraukan datangnya
siang dan malam. Dia melukis hingga larut, dan setelah itu tidur
sepanjang siang. Aku datang sore hari, yang kukira dia dalam
keadaan rapi sehabis mandi. Tapi perempuan itu, sungguh
mengejutkan, baru saja bangun tidur. Belum makan. Belum minum.
Terlihat letih. Acak-acakan. Tubuhnya rapuh. Tatapannya
menerawang ke kehidupan yang jauh, menembus labirin buram,
tabir waktu yang telah diluruhkannya.
"Kamu mau membeli lukisanku?" tanya Sekar sinis, seperti tak
memerlukan kehadiranku. "Tampaknya kau begitu yakin, aku akan
melepaskan lukisan itu."
"Aku masih berharap kau mau melepas lukisan itu."
"Tak akan kulepas, kecuali aku mati."
Tertawa, memandangi Sekar yang lunglai, aku meredakan hasratku
menaklukkannya. Kutawarkan padanya untuk makan di sebuah
restoran. Dia menolak. Kutawarkan padanya untuk berjalan-jalan.
Dia menggeleng. Diambilnya sebatang rokokku. Dan berseru ke
warung sebelah untuk mengantarkan dua botol minuman.
"Lukisan itu terlalu pribadi. Tak kan dijual. Berkisah tentang
keluargaku sendiri," kata Sekar. "Seumur hidup aku hanya
menemukan Eyang Putri, Ibu, diriku, dan seorang adik perempuan.
Tanpa lelaki di rumahku."
3 21 Januari 2007
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 19
"Lalu kenapa keempat perempuan itu berada dalam perut babi?"
"Kamu sudah tahu, siapa babi itu."
Siapakah yang dimaksud babi dalam lukisan itu. Ayahnya? Lelaki
brengsek yang telah merusak kehidupan keluarganya? Dia selalu
tertawa sinis bila aku bertanya, siapakah yang dimaksud dengan
babi dalam lukisan itu. Tapi sebenarnya aku tak perlu bertanya,
siapakah yang dimaksud babi dalam lukisan itu. Lukisan itulah
yang memancarkan sapuan kuasnya. Sapuan kuasnya tak bimbang,
tak setengah hati. Garis-garis lukisannya cepat dan mendalam.
Sekar meninggalkanku. Dia muncul dengan tubuh yang segar,
berdandan rapi, dan berucap ringan. "Aku mau pergi." Aku merasa
terusir. Ada juga rupanya seorang perempuan yang begitu saja
menelantarkan tamu yang sedang asyik duduk di teras rumahnya,
sambil memandangi daun-daun karena luruh di pelataran. Kuajak
dia pergi bersama dengan mobilku. Dia menolak. Membayar dua
minuman botol ke warung sebelah. Melangkah menyusuri gang.
Kuserukan lagi agar dia turut dengan mobilku. Tapi, lagi-lagi, dia
menolak.
Dengan begitu saja Sekar meninggalkanku di bawah pohon kersen.
Seorang diri ia menyusuri lorong gang sempit menuju jalan raya.
Aku masih belum ingin beranjak dari bawah pohon kersen. Teringat
masa kecil, di rumah Eyang Kakung, bergelayutan memetik buahbuah
kersen ranum, mengulumnya dalam mulut. Eyang Kakung
dulu selalu mengumpatku dengan kasar, bila mendapatiku
meninggalkan pekerjaan, dan memanjat pohon kersen. "Dasar, babi
tengik!"
Aku tak paham, kenapa aku ditelantarkan Ayah. Ibu menitipkanku
pada Eyang Kakung, yang selalu menyuruhku menyapu pelataran,
mengepel lantai, menimba air sumur memenuhi bak mandi, mencuci
pakaian dan piring. Cucu-cucu lain, yang datang dari keluarga kaya,
dibiarkan bersenda gurau, mengotori lantai, menghabiskan air di
bak mandi, dan menumpuk piring-piring kotor. Akulah, yang
dipanggil babi tengik, yang mesti membersihkan segalanya. Di
bawah pohon kersen depan rumah Eyang Kakung itulah aku
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
20 Laha collection
berayun-ayun menghibur diri, merenung, kenapa diperlakukan
buruk dan diumpat sebagai babi tengik.
Aku tak pernah mengadu pada Ibu, bila selalu mendapat umpatan
babi tengik. Aku menampakkan kegembiraan, bila Ibu menengokku
di rumah Eyang Kakung. Dan ketika di galeri lukis, beberapa hari
yang lalu, aku tercengang menatap lukisan empat perempuan dalam
perut babi. Terpukau. Aku teringat Eyang Kakung, yang selalu
memanggilku babi tengik. Ketika beliau meninggal, ketika cucucucu
lain menangis, aku tak bisa menangis. Seekor babi tengik
macam aku, tak pantas menangisi kematian manusia yang
dimuliakan anak cucunya. Aku juga selalu menolak berdoa di sisi
makamnya. Doa babi tengik, mana mungkin terkabul?
Lukisan Sekar telah menggetarkan dadaku. Aku jadi ingin selalu
melihatnya. Ketika lukisan itu ingin kubeli, Sekar tak pernah
merelakannya. Aku memburunya dalam beberapa pameran, hingga
ke rumah Sekar. Tapi aneh. Ia kukuh dalam pendirian: tak mau
melepas lukisan itu. Kalau tak diperkenankan membeli lukisan itu,
aku ingin melihatnya.
Dan di rumah besar yang didiami Sekar, terdapat Eyang Putri, Ibu,
adik perempuan Sekar, yang kesemuanya bergerak lamban. Eyang
Putri selalu memandangiku dengan lama, penuh perenungan,
seperti ingin mendalamiku, ingin memahami perasaanku. Ibunya
sedikit lebih terbuka. Tersenyum dan mengajakku berbincangbindcang.
"Kau teman Sekar?"
"Betul. Aku ingin membeli lukisannya."
"Sekar tak kan melepas lukisan empat perempuan dalam perut babi.
Kalau kau memang ingin membeli lukisannya, belilah yang lain."
"Aku hanya ingin melihat lukisan itu!"
Dibawalah aku ke sanggar lukis Sekar. Sebuah ruang yang agak luas
di ruang belakang. Berjajar lukisan, kanvas, dan sebuah lukisan yang
tak jadi, yang ditinggalkannya begitu saja. Ia pergi, dan tak tahu
kapan bakal kembali. Tapi memandangi lukisan empat perempuan
dalam perut babi, aku mulai memahami sepi yang merasuki suasana
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 21
hatinya. Aku memahami betapa ia terhina. Apakah itu lantaran ulah
ayahnya sepertiku? Ia tak pernah menyebut-nyebut ayah dalam
hidupnya. Berkali-kali ia berbicang denganku, tetapi tidak pernah
benar-benar menyingkap endapan perasaannya. Ia sungguh lebih
parah dariku. Mungkin ia menanggung penghinaan yang lebih keji
dariku. Ia tak memiliki apa pun, kecuali melukis.
Kutunggui Sekar melukis. Aku diperkenankannya menunggui ia
melukis malam itu. Berkali-kali aku memohon untuk dibiarkan
menungguinya melukis. Dia memang memperkenankannya. Dia
akan melukis. Ia banyak merokok, menenggak anggur merah, dan
beberapa waktu merenung. Hampir tak berkata-kata. Berdiam diri.
Aku tak disapanya sama sekali, kecuali dibiarkannya terkesima. Dia
sempat berkata lirih, "Kuizinkan kau untuk memiliki lukisanku ini."
Dan mulailah Sekar melukis. Mula-mula pelan, sangat pelan, tipis,
dengan guratan-guratan samar. Lambat laun ia bergerak lebih cepat.
Lebih capat lagi, tegas, dan goresannya meluapkan perasaanperasaan
yang tak terduga. Sesekali ia menenggak anggur merah itu.
Langsung dikulum dari mulut botol. Merokok. Melukis lagi.
Membiarkanku terdiam. Memandanginya. Tirai gerimis dan desau
angin merapuhkan malam. Ibu Sekar, perempuan setengah baya
yang menyisakan gurat wajah keningratannya, menyuguhkan dua
cangkir kopi mengepul dan goreng pisang hangat.
Lewat tengah malam baru aku tahu, Sekar melukis seekor babi
dengan tiga perempuan dalam perutnya. Dan seorang perempuan
membebaskan diri dari perut babi itu. Bersayap lembut. Meronta.
Tersenyum. Terbang meninggalkan ketiga perempuan yang
meringkuk dalam perut babi.
Aku tertidur. Bergelung di atas karpet merah. Gelisah. Sesekali
terbangun. Menatap Sekar masih melukis. Tubuhnya melemah. Tapi
terus saja ia melukis. Tak berhenti. Aku tertidur lagi. Merasakan
angin pagi yang dingin, sepi, dan gugus waktu yang luruh. Tercium
harum buah-buah kersen ranum. Aneh. Tidur yang sungguh aneh.
Aku mencium aroma buah-buah kersen ranum yang terkelupas kulit
luarnya. Menyengat, segar, dan manis.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
22 Laha collection
Sebuah tangan mengguncang tubuhku. Ibu Sekar
membangunkanku. Aku tergeragap. Kabur. Samar. Bergoyang
karena kantuk. Tubuh Sekar terbujur di bawah kanvas berlukiskan
tiga perempuan bergelung dalam perut babi, dan seorang
perempuan yang lain, bersayap, membebaskan diri.
"Sekar sudah meninggal," kata ibu Sekar, parau, tersekap dingin
pagi. Ia memintaku mengangkat tubuh Sekar ke meja. Menata
tubuhnya. Ia cantik, pucat, dan menampakkan segurat senyum.
Kecantikan yang ikhlas. Kecantikan yang tak lagi menampakkan
gurat dendam. Langit disepuh hangat fajar yang rekah, pelan, dan
merebakkan aroma buah-buah kersen ranum yang terserak di
pelataran rumah. Tetangga-tetangga berdatangan. Memandangi
jasad Sekar. Memandangi lukisan yang hampir selesai: tiga
perempuan di dalam perut babi dan seorang perempuan bersayap
yang meninggalkan perut babi itu.
Pemakaman di bukit itu hampir-hampir tanpa pelayat. Sekar madi
dalam kesepian. Aku menungguinya. Seperti tersihir, aku tertidur.
Kini saat dia dimakamkan, hanya terhitung beberapa orang yang
hadir. Selain Eyang Putri, Ibu, adik perempuan Sekar dan aku,
beberapa teman dekat perempuan itu—dapat dihitung dengan jari
tangan—menaburkan bunga di atas pusaranya.
Datang seorang lelaki tampan, berambut putih, mendaki makam.
Diiringi dua orang ajudan yang berjalan tegap di belakangnya.
Semua orang memandanginya. Dia tampak bimbang. Lelaki itu—
seorang pejabat negara—datang dengan penampilan penuh harga
diri. Enggan mendekat ke arah gundukan makam. Ibu Sekar yang
bergegas menyambut. Menyalaminya. Dalam rindu dan duka yang
tertahan. Tak memeluk lelaki tampan berambut putih itu. Ia
menawarkan sekeranjang kembang untuk ditaburkan. Tapi ditolak.
Ia menawarkan kendi berisi air agar dikucurkan di atas makam
Sekar, sambil berbisik, "Ini yang terakhir, agar dia tenteram."
Bimbang sesaat, lelaki tampan dengan dagu terangkat—yang
terkesan congkak itu—menggenggam leher kendi. Mengucurkan air
kendi di atas makam Sekar. Aku berpikir, inikah babi yang
dimaksud Sekar? Betapa tampan, ningrat, dan mengambil jarak
dengan siapa pun yang hadir dalam pemakaman.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 23
Turun dari makam, aku kehilangan selera memiliki lukisan yang
diselesaikan Sekar hingga menjemput ajal. Aku tak tega
memilikinya. Sekar memendam luka maha dalam. Ia telah
mempertaruhkan hidupnya saat menyelesaikan lukisan itu. Aku tak
segera pulang. Kembali ke rumah duka. Duduk di bawah pohon
kersen. Tercium aroma buah- buah kersen ranum, harum, dan
terserak di pelataran rumah tua.
Pandana Merdeka, November 19, 2006
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
24 Laha collection
Read More

Lolos dari Maut

01.41 |

Karena dianggap hampir membunuh Baginda maka Abu Nawas mendapat
celaka. Dengan kekuasaan yang absolut Baginda memerintahkan prajuritprajuritnya
langsung menangkap dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke
penjara.
Waktu itu Abu Nawas sedang bekerja di ladang karena musim tanam kentang
akan tiba. Ketika para prajurit kerajaan tiba, ia sedang mencangkul. Dan tanpa
alasan yang jelas mereka langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah
Baginda. Abu Nawas tidak berkutik. Kini ia mendekam di dalam penjara.
Beberapa hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam. Sedangkan istrinya tidak
cukup kuat untuk melakukan pencangkulan. Abu Nawas tahu bahwa tetanggatetangganya
tidak akan bersedia membantu istrinya sebab mereka juga sibuk
dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tidak ada yang bisa dilakukan di
dalam 'penjara kecuali mencari jalan keluar.
Seperti biasa Abu Nawas tidak bisa tidur dan tidak enak makan. la hanya makan
sedikit. Sudah dua hari ia meringkuk di dalam penjara. Wajahnya murung.
Hari ketiga Abu Nawas memanggil seorang pengawal. "Bisakah aku minta tolong
kepadamu?" kata Abu Nawas membuka pembicaraan.
"Apa itu?" kata pengawal itu tanpa gairah.



"Aku ingin pinjam pensil dan selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk
istriku. Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting yang hanya boleh
diketahui oleh istriku saja."
Pengawal itu berpikir sejenak lalu pergi meninggalkan Abu Nawas.
Ternyata pengawal itu merighadap Baginda Raja untuk melapor.
Mendengar laporan dari pengawal, Baginda segera menyediakan apa yang
diminta Abu Nawas. Dalam hati, Baginda bergumam mungkin kali ini ia bisa
mengalahkan Abu Nawas:
Abu Nawas menulis surat yang berbunyi: "Wahai istriku, janganlah engkau
sekali-kali menggali ladang kita karena aku menyembunyikan harta karun dan
senjata di situ. Dan tolong jangan bercerita kepada siapa pun."
Tentu saja surat itu dibaca oleh Baginda karena beliau ingin tahu apa
sebenarnya rahasia Abu Nawas. Setelah membaca surat itu Baginda merasa
puas dan langsung memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali
ladang Abu Nawas. Dengan peralatan yarig dibutuhkan mereka berangkat dan
langsung menggali ladang Abu Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran.
Mungkinkah suaminya minta tolong pada mereka?


Pertanyaan itu tidak terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit.
Mereka hanya menyerahkan surat Abu Nawas kepadanya.
Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu
berbunyi: "Mungkin suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena
beberapa pekerja istana datang ke sini dua hari yang lalu, mereka menggali
seluruh ladang kita. Lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?"
Rupanya istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan
bijaksana Abu Nawas membalas: "Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang
tanpa harus menggali, wahai istriku."
Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi. Bagi.nda makin
mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu
Nawas masih bisa melakukan pencangkulan.
********
Abu Nawas masih mengeram di penjara. Namun begitu Abu Nawas masih bisa
menyelesaikan pekerjaannya dengan memakai tangan orang lain.


Baginda berpikir. Sejenak kemudian beliau segera memerintahkan sipir penjara
untuk membebaskan Abu Nawas. Baginda Raja tidak ingin menanggung resiko
yang lebih buruk. Karena akal Abu Nawas tidak bisa ditebak. Bahkan di dalam
penjara pun Abu Nawas masih sanggup menyusahkan prang. Keputusan yang
dibuat Baginda Raja untuk melepaskan Abu Nawas memang sangat tepat.
Karena bila sampai Abu Nawas bertambah sakit hati maka tidak mustahil
kesusahan yang akan ditimbulkan akan semakin gawat.
Kini hidung Abu Nawas sudah bisa menghisap udara kebebasan di luar. Istri Abu
Nawas menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat
dirindukan. Abu Nawas juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan
membuahkan hasil yang bisa dipetik dalam waktu dekat.
Abu Nawas memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah.
Bagaimana Abu Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak
lagi memakai perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja
langsung memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti
Baginda langsung menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat
ini Baginda pasti sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung
untuk menyambut hujan yang akan diciptakan Baginda Raja. Pada hari itu Abu
Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib.
Sejak membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat
panggilan dari orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai
orang yang hartdal daiam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli
ramal yang jitu.


Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun
Al Rasyid merasa khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa membahayakan
kerajaan. Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap.
Abu Nawas sejak semula yakin Baginda Raja kali ini berniat akan menghabisi
riwayatnya. Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas
sudah mempersiapkan tameng.
Setelah beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju
tempat kematian. Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang
baru diasah. Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang.
Baginda merasa kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga
bertanya-tanya dalam hati mengapa Abu Nawas begitu tabah menghadapi
detik-detik terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang,
Abu Nawas tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan pemancungan.
Beliau bertanya, "Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri
menghadapi pedang algojo?"
"Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira." jawab Abu
Nawas sambil tersenyum.
"Engkau merasa gembira?" tanya Baginda kaget.


"Betul Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba,
maka Baginda pun akan mangkat menyusul hamba ke Hang lahat, karena hamba
tidak bersalah sedikit pun." kata Abu Nawas tetap tenang.
Baginda gemetar mendengar ucapan Abu Nawas. dan tentu saja hukuman
pancung dibatalkan.
Abu Nawas digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu
Nawas diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu
Nawas disuguhi hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasa
tinggal di penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada
penjaga penjara bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa
jatuh sakit atau meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas
setelah mendengar penuturan penjaga penjara.
*****
Cita-cita atau obsesi menghukum Abu Nawas sebenarnya masih bergolak,
namun Baginda merasa kehabisan akal untuk menjebak Abu Nawas.
Seorang penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan agar
Baginda memanggil seorang ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi untuk
menandingi Abu Nawas. Pasti masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu
Nawas. Menjebak pencuri harus dengan pencuri.Dan ulama dengan ulama.
Baginda menerima usul yang cemerlang itu dengan hati bulat.


Setelah ulama yang berilmu tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja
menanyakan cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu caracara
yang paling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut
setuju. Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa
ramalan Abu Nawas tentang takdir kematian Baginda Raja sama sekali tidak
mempunyai dasar yang kuat. Tiada seorang pun manusia yang tahu kapan dan
di bumi mana ia akan mati apalagi tentang ajal orang lain.
Ulama andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk
memberikan pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai
rencana. Abu Nawas terjerembab ke lubang siasat sang ulama. Abu Nawas
melakukan kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau tempat
pemancungan.
Benarlah peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu
saat akan terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia
akan dihukum mati karena jebakan sang ilmuwan-ulama.
Benarkah Abu Nawas sudah keok?
Kita lihat saja nanti.


Banyak orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang
miskin dan tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para
pecinta dan pengagum Abu Nawas tak akan mampu menghentikan hukuman
mati yang akan dijatuhkan.
Baginda Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kernenangannya. Belum
pernah Baginda terlihat seriang sekarang.
Keyakinan orang banyak bertambah mantap. Hanya sat orang yang tetap tidak
yakin bahwa hidup Abu Nawas aka berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas.
Bukankah Alia Azza Wa Jalla lebih dekat daripada urat leher. Tidak ada yang
tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan kematian adalah mutlak
urusan-Nya. Semakin dekat hukuman mati bagi Abu Nawas. Orang banyak
semakin resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin dekat
hukuman bagi dirinya, semakin tegar hatinya.
Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah
merupakan bagian dari tipu dayanya. Tetapi Baginda Raja telah bersumpah
pada diri sendiri bahwa beliau tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya.
Sebaliknya Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih melekat maka harapan
akan terus menyertainya. Tuhan tidak mungkin menciptakan alam semesta ini
tanpa ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang
bagaimanapun gawatnya.
Keyakinan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu.
Seketika suasana menjadi hening, sewaktu Bagin Raja memberi sambutan
singkattentang akan dilaksanakan hukuman mati atas diri terpidana mati Abu


Nawas. Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan
permintaan terakhir Abu Nawas. Dan pertanyaan inilah yang paling dinantinantikan
Abu Nawas.
"Adakah permintaan yang terakhir"
"Ada Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas singkat.
"Sebutkan." kata Baginda.
"Sudilah kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba
anggap cocok wahai Baginda yang mulia." pinta Abu Nawas.
"Baiklah." kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas..
"Paduka yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba
bersedia dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka
hamba dihukum gantung saja." kata Abu Nawas memohon.
"Engkau memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun
engkau masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu


muslihatmu hari ini tak akan bisa membawamu kemana-mana." kata Baginda
sambil tertawa.
"Hamba tidak bersenda gurau Paduka yang mulia." kata Abu Nawas bersungguhsungguh.
Baginda makin terpingkal-pingkal. Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa,
Abu Nawas berteriak dengan nyaring.
"Hamba minta dihukum pancung!"
Semua yang hadir kaget. Orang banyak belum mengerti mengapa Abu Nawas
membuat keputusan begitu. Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap
sesuatu yang lain. Sehingga tawa Baginda yang semula berderai-derai
mendadak terhenti. Kening Baginda berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas.
Baginda Raja tidak berani menarik kata-katanya karena disaksikan oleh ribuan
rakyatnya.
Beliau sudah terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati
yang paling cocok untuk dirinya.


Kini kesempatan Abu Nawas membela diri.
"Baginda yang mulia, hamba tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum
pancung. Kalau pilihan hamba benar maka hamba dihukum gantung. Tetapi di
manakah letak kesalahan pilihan hamba sehingga hamba hams dihukum
gantung. Padahal hamba telah memilih hukuman pancung?"
Olah kata Abu Nawas memaksa Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benarbenar
luar biasa otak Abu Nawas ini. Rasanya tidak ada lagi manusia pintar
selain Abu Nawas di negeri Baghdad ini.
"Abu Nawas aku mengampunimu, tapi sekarang jawablah pertanyaanku ini.
Berapa banyakkah bintang di langit?"
"Oh, gampang sekali Tuanku."
"Iya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?" tanya Baginda.
"Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai."


"Kau ini.... bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?"
"Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?"
"Ha ha ha ha ha...! Kau memang penggeli hati.
Kau adalah pelipur laraku. Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan,
sering-seringlah datang ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar leluconleluconmu
yang baru!"
"Siap Baginda !"
Read More

The Frog-Prince

01.39 |

One fine evening a young princess put on her bonnet and clogs, and went out to take a walk by herself in a wood; and when she came to a cool spring of water, that rose in the midst of it, she sat herself down to rest a while. Now she had a golden ball in her hand, which was her favourite plaything; and she was always tossing it up into the air, and catching it again as it fell. After a time she threw it up so high that she missed catching it as it fell; and the ball bounded away, and rolled along upon the ground, till at last it fell down into the spring. The princess looked into the spring after her ball, but it was very deep, so deep that she could not see the bottom of it. Then she began to bewail her loss, and said, ‘Alas! if I could only get my ball again, I would give all my fine clothes and jewels, and everything that I have in the world.’
Whilst she was speaking, a frog put its head out of the water, and said, ‘Princess, why do you weep so bitterly?’
‘Alas!’ said she, ‘what can you do for me, you nasty frog? My golden ball has fallen into the spring.’ The frog said, ‘I want not your pearls, and jewels, and fine clothes; but if you will love me, and let me live with you and eat from
eBook brought to you by

Grimms’ Fairy Tales
Create, view, and edit PDF. Download the free trial version.


off your golden plate, and sleep upon your bed, I will bring you your ball again.’ ‘What nonsense,’ thought the princess, ‘this silly frog is talking! He can never even get out of the spring to visit me, though he may be able to get my ball for me, and therefore I will tell him he shall have what he asks.’ So she said to the frog, ‘Well, if you will bring me my ball, I will do all you ask.’ Then the frog put his head down, and dived deep under the water; and after a little while he came up again, with the ball in his mouth, and threw it on the edge of the spring. As soon as the young princess saw her ball, she ran to pick it up; and she was so overjoyed to have it in her hand again, that she never thought of the frog, but ran home with it as fast as she could. The frog called after her, ‘Stay, princess, and take me with you as you said,’ But she did not stop to hear a word.
The next day, just as the princess had sat down to dinner, she heard a strange noise—tap, tap—plash, plash— as if something was coming up the marble staircase: and soon afterwards there was a gentle knock at the door, and a little voice cried out and said:
’Open the door, my princess dear, Open the door to thy true love here! And mind the words that thou and I said
By the fountain cool, in the greenwood shade.’


Then the princess ran to the door and opened it, and there she saw the frog, whom she had quite forgotten. At this sight she was sadly frightened, and shutting the door as fast as she could came back to her seat. The king, her father, seeing that something had frightened her, asked her what was the matter. ‘There is a nasty frog,’ said she, ‘at the door, that lifted my ball for me out of the spring this morning: I told him that he should live with me here, thinking that he could never get out of the spring; but there he is at the door, and he wants to come in.’
While she was speaking the frog knocked again at the door, and said:
’Open the door, my princess dear, Open the door to thy true love here! And mind the words that thou and I said
By the fountain cool, in the greenwood shade.’

Then the king said to the young princess, ‘As you have given your word you must keep it; so go and let him in.’ She did so, and the frog hopped into the room, and then straight on—tap, tap—plash, plash— from the bottom of the room to the top, till he came up close to the table where the princess sat. ‘Pray lift me upon chair,’ said he to the princess, ‘and let me sit next to you.’ As soon as she had done this, the frog said, ‘Put your plate nearer to me,


that I may eat out of it.’ This she did, and when he had eaten as much as he could, he said, ‘Now I am tired; carry me upstairs, and put me into your bed.’ And the princess, though very unwilling, took him up in her hand, and put him upon the pillow of her own bed, where he slept all night long. As soon as it was light he jumped up, hopped downstairs, and went out of the house. ‘Now, then,’ thought the princess, ‘at last he is gone, and I shall be troubled with him no more.’
But she was mistaken; for when night came again she heard the same tapping at the door; and the frog came once more, and said:
’Open the door, my princess dear, Open the door to thy true love here! And mind the words that thou and I said
By the fountain cool, in the greenwood shade.’

And when the princess opened the door the frog came in, and slept upon her pillow as before, till the morning broke. And the third night he did the same. But when the princess awoke on the following morning she was astonished to see, instead of the frog, a handsome prince, gazing on her with the most beautiful eyes she had ever seen, and standing at the head of her bed.


He told her that he had been enchanted by a spiteful fairy, who had changed him into a frog; and that he had been fated so to abide till some princess should take him out of the spring, and let him eat from her plate, and sleep upon her bed for three nights. ‘You,’ said the prince,
‘have broken his cruel charm, and now I have nothing to wish for but that you should go with me into my father’s kingdom, where I will marry you, and love you as long as you live.’
The young princess, you may be sure, was not long in saying ‘Yes’ to all this; and as they spoke a gay coach drove up, with eight beautiful horses, decked with plumes of feathers and a golden harness; and behind the coach rode the prince’s servant, faithful Heinrich, who had bewailed the misfortunes of his dear master during his enchantment so long and so bitterly, that his heart had well-nigh burst.
They then took leave of the king, and got into the coach with eight horses, and all set out, full of joy and merriment, for the prince’s kingdom, which they reached safely; and there they lived happily a great many years.
Read More

The Twelve Dancing Princesses

01.38 |

There was a king who had twelve beautiful daughters. They slept in twelve beds all in one room; and when they went to bed, the doors were shut and locked up; but every morning their shoes were found to be quite worn through as if they had been danced in all night; and yet nobody could find out how it happened, or where they had been.
Then the king made it known to all the land, that if any person could discover the secret, and find out where it was that the princesses danced in the night, he should have the one he liked best for his wife, and should be king after his death; but whoever tried and did not succeed, after three days and nights, should be put to death.
A king’s son soon came. He was well entertained, and in the evening was taken to the chamber next to the one where the princesses lay in their twelve beds. There he was to sit and watch where they went to dance; and, in order that nothing might pass without his hearing it, the door of his chamber was left open. But the king’s son soon fell asleep; and when he awoke in the morning he found that the princesses had all been dancing, for the soles of


their shoes were full of holes. The same thing happened the second and third night: so the king ordered his head to be cut off. After him came several others; but they had all the same luck, and all lost their lives in the same manner.
Now it chanced that an old soldier, who had been wounded in battle and could fight no longer, passed through the country where this king reigned: and as he was travelling through a wood, he met an old woman, who asked him where he was going. ‘I hardly know where I am going, or what I had better do,’ said the soldier; ‘but I think I should like very well to find out where it is that the princesses dance, and then in time I might be a king.’ ‘Well,’ said the old dame, ‘that is no very hard task: only take care not to drink any of the wine which one of the princesses will bring to you in the evening; and as soon as she leaves you pretend to be fast asleep.’
Then she gave him a cloak, and said, ‘As soon as you put that on you will become invisible, and you will then be able to follow the princesses wherever they go.’ When the soldier heard all this good counsel, he determined to try his luck: so he went to the king, and said he was willing to undertake the task.


He was as well received as the others had been, and the king ordered fine royal robes to be given him; and when the evening came he was led to the outer chamber. Just as he was going to lie down, the eldest of the princesses brought him a cup of wine; but the soldier threw it all away secretly, taking care not to drink a drop. Then he laid himself down on his bed, and in a little while began to snore very loud as if he was fast asleep. When the twelve princesses heard this they laughed heartily; and the eldest said, ‘This fellow too might have done a wiser thing than lose his life in this way!’ Then they rose up and opened their drawers and boxes, and took out all their fine clothes, and dressed themselves at the glass, and skipped about as if they were eager to begin dancing. But the youngest said,
‘I don’t know how it is, while you are so happy I feel very uneasy; I am sure some mischance will befall us.’ ‘You simpleton,’ said the eldest, ‘you are always afraid; have you forgotten how many kings’ sons have already watched in vain? And as for this soldier, even if I had not given him his sleeping draught, he would have slept soundly enough.’
When they were all ready, they went and looked at the soldier; but he snored on, and did not stir hand or foot: so they thought they were quite safe; and the eldest went up


to her own bed and clapped her hands, and the bed sank into the floor and a trap-door flew open. The soldier saw them going down through the trap-door one after another, the eldest leading the way; and thinking he had no time to lose, he jumped up, put on the cloak which the old woman had given him, and followed them; but in the middle of the stairs he trod on the gown of the youngest princess, and she cried out to her sisters, ‘All is not right; someone took hold of my gown.’ ‘You silly creature!’ said the eldest, ‘it is nothing but a nail in the wall.’ Then down they all went, and at the bottom they found themselves in a most delightful grove of trees; and the leaves were all of silver, and glittered and sparkled beautifully. The soldier wished to take away some token of the place; so he broke off a little branch, and there came a loud noise from the tree. Then the youngest daughter said again, ‘I am sure all is not right—did not you hear that noise? That never happened before.’ But the eldest said, ‘It is only our princes, who are shouting for joy at our approach.’
Then they came to another grove of trees, where all the leaves were of gold; and afterwards to a third, where the leaves were all glittering diamonds. And the soldier broke a branch from each; and every time there was a loud noise, which made the youngest sister tremble with fear;


but the eldest still said, it was only the princes, who were crying for joy. So they went on till they came to a great lake; and at the side of the lake there lay twelve little boats with twelve handsome princes in them, who seemed to be waiting there for the princesses.
One of the princesses went into each boat, and the soldier stepped into the same boat with the youngest. As they were rowing over the lake, the prince who was in the boat with the youngest princess and the soldier said, ‘I do not know why it is, but though I am rowing with all my might we do not get on so fast as usual, and I am quite tired: the boat seems very heavy today.’ ‘It is only the heat of the weather,’ said the princess: ‘I feel it very warm too.’ On the other side of the lake stood a fine illuminated castle, from which came the merry music of horns and trumpets. There they all landed, and went into the castle, and each prince danced with his princess; and the soldier, who was all the time invisible, danced with them too; and when any of the princesses had a cup of wine set by her, he drank it all up, so that when she put the cup to her mouth it was empty. At this, too, the youngest sister was terribly frightened, but the eldest always silenced her. They danced on till three o’clock in the morning, and then all their shoes were worn out, so that they were


obliged to leave off. The princes rowed them back again over the lake (but this time the soldier placed himself in the boat with the eldest princess); and on the opposite shore they took leave of each other, the princesses promising to come again the next night.
When they came to the stairs, the soldier ran on before the princesses, and laid himself down; and as the twelve sisters slowly came up very much tired, they heard him snoring in his bed; so they said, ‘Now all is quite safe’; then they undressed themselves, put away their fine clothes, pulled off their shoes, and went to bed. In the morning the soldier said nothing about what had happened, but determined to see more of this strange adventure, and went again the second and third night; and every thing happened just as before; the princesses danced each time till their shoes were worn to pieces, and then returned home. However, on the third night the soldier carried away one of the golden cups as a token of where he had been.
As soon as the time came when he was to declare the secret, he was taken before the king with the three branches and the golden cup; and the twelve princesses stood listening behind the door to hear what he would say. And when the king asked him. ‘Where do my twelve


daughters dance at night?’ he answered, ‘With twelve princes in a castle under ground.’ And then he told the king all that had happened, and showed him the three branches and the golden cup which he had brought with him. Then the king called for the princesses, and asked them whether what the soldier said was true: and when they saw that they were discovered, and that it was of no use to deny what had happened, they confessed it all. And the king asked the soldier which of them he would choose for his wife; and he answered, ‘I am not very young, so I will have the eldest.’—And they were married that very day, and the soldier was chosen to be the king’s heir.
Read More

Putri Melati Wangi

01.35 |

Di sebuah kerajaan, ada seorang putri yang bernama Melati Wangi. Ia seorang putri yang
cantik dan pandai. Di rumahnya ia selalu menyanyi. Tetapi sayangnya ia seorang yang
sombong dan suka menganggap rendah orang lain. Di rumahnya ia tidak pernah mau jika
disuruh menyapu oleh ibunya. Selain itu ia juga tidak mau jika disuruh belajar memasak.
"Tidak, aku tidak mau menyapu dan memasak nanti tanganku kasar dan aku jadi kotor",
kata Putri Melati Wangi setiap kali disuruh menyapu dan belajar memasak.
Sejak kecil Putri Melati Wangi sudah dijodohkan dengan seorang pangeran yang bernama
Pangeran Tanduk Rusa. Pangeran Tanduk Rusa adalah seorang pangeran yang tampan dan
gagah. Ia selalu berburu rusa dan binatang lainnya tiap satu bulan di hutan. Karena itu ia
dipanggil tanduk rusa.
Suatu hari, Putri Melati Wangi berjalan-jalan di taman. Ia
melihat seekor kupu-kupu yang cantik sekali warnanya. Ia
ingin menangkap kupu-kupu itu tetapi kupu-kupu itu segera
terbang. Putri Melati Wangi terus mengejarnya sampai ia
tidak sadar sudah masuk ke hutan. Sesampainya di hutan,
Melati Wangi tersesat. Ia tidak tahu jalan pulang dan
haripun sudah mulai gelap.
Akhirnya setelah terus berjalan, ia menemukan sebuah gubuk yang biasa digunakan para
pemburu untuk beristirahat. Akhirnya Melati Wangi tinggal digubuk tersebut. Karena
tidak ada makanan Putri Melati Wangi terpaksa memakan buah-buahan yang ada di hutan
itu. Bajunya yang semula bagus, kini menjadi robek dan compang camping akibat
tersangkut duri dan ranting pohon. Kulitnya yang dulu putih dan mulus kini menjadi hitam
dan tergores-gores karena terkena sinar matahari dan duri.
Setelah sebulan berada di hutan, ia melihat Pangeran Tanduk Rusa datang sambil
memanggul seekor rusa buruannya. "Hai Tanduk Rusa, aku Melati Wangi, tolong antarkan
aku pulang," kata Melati Wangi. "Siapa? Melati Wangi? Melati wangi seorang Putri yang
cantik dan bersih, sedang engkau mirip seorang pengemis", kata Pangeran Tanduk Rusa. Ia
tidak mengenali lagi Melati Wangi. Karena Melati Wangi terus memohon, akhirnya
Pangeran Tanduk Rusa berkata," Baiklah, aku akan membawamu ke Kerajaan ku".
Setelah sampai di Kerajaan Pangeran Tanduk Rusa. Melati Wangi di suruh mencuci,
menyapu dan memasak. Ia juga diberikan kamar yang kecil dan agak gelap. "Mengapa
nasibku menjadi begini?", keluh Melati Wangi. Setelah satu tahun berlalu, Putri Melati
Wangi bertekad untuk pulang. Ia merasa uang tabungan yang ia kumpulkan dari hasil
kerjanya sudah mencukupi. Sesampainya di rumahnya, Putri Melati Wangi disambut
gembira oleh keluarganya yang mengira Putri Melati Wangi sudah meninggal dunia.
Sejak itu Putri Melati Wangi menjadi seorang putri yang rajin.
Ia merasa mendapatkan pelajaran yang sangat berharga selama
berada di hutan dan di Kerajaan Pangeran Tanduk Rusa.
Akhirnya setahun kemudian Putri Melati Wangi dinikahkan
dengan Pangeran Tanduk Rusa. Setelah menikah, Putri Melati
Wangi dan Pangeran Tanduk Rusa hidup berbahagia sampai hari
tuanya.
Read More

Manusia Satu Kata

01.26 |

Hari yang cerah. Raja Mahendra pergi ke hutan untuk menguji kemampuannya berburu. Ia melarang para pengawal mengikutinya masuk ke hutan. Di tengah hutan, tampak seekor kijang asyik makan rumput. Raja Mahendra langsung membidik anak panahnya.

Ah, kijang itu berhasil melarikan diri. Raja Mahendra mengejarnya. Namun ia terperosok masuk ke lubang yang cukup dalam. Ia berteriak sekeras-kerasnya memanggil para pengawal. Namun suaranya lenyap ditelan lebatnya hutan. Selagi Raja Mahendra merenungi nasibnya, ia terkejut melihat seseorang berdiri di tepi lubang.
“Hei! Siapa kau?” tanya Raja. Orang itu tak menjawab. “Aku Raja Mahendra! Tolong naikkan aku!” pintanya dengan nada keras. “Tidak!” jawab orang itu. Raja menjadi geram. Ia ingin memanah orang itu. Namun sebelum anak panah melesat, orang itu lenyap. Tak lama kemudian, jatuhlah seutas tali. Raja mengira itu pengawalnya. Namun, ternyata orang tadi yang melempar tali.

“Jadi kau mau menolongku?”
“Tidak!” jawabnya lagi. Raja menjadi bingung. Katanya tidak, mengapa memberi tali? Apa boleh buat, yang penting orang itu mau menolongnya. Raja Mahendra berhasil naik. Ia mengucapkan rasa terima kasih.

“Maukah kau kubawa ke kerajaan?” tawar Raja.
“Tidak!” jawab si penolong.
“Kalau tidak mau, terimalah beberapa keping emas.”
“Tidak!” jawabnya lagi, tetapi tangannya siap menerima.
Akhirnya Raja Mahendra sadar, bahwa orang itu hanya bisa bicara satu kata. Yaitu tidak. Walau berkata tidak, orang itu dibawa juga ke kerajaan. Sampai di kerajaan Raja Mahendra memanggil Patih.

“Paman Patih, tolong berikan pekerjaan pada manusia satu kata ini. Ia hanya bisa berkata, tidak.”
“Mengapa paduka membawa orang yang amat bodoh ini?”
“Walau bodoh, ia telah menolongku ketika terperosok lubang.” Patih berpikir keras. Pekerjaan apa yang sesuai dengan orang ini.

Setelah merenung beberapa saat, Patih tersenyum dan berkata, “Paduka kan bermaksud mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi sang putri. Tetapi sampai kini Paduka belum menemukan jenis sayembaranya.”
“Benar Paman Patih, aku ingin mempunyai menantu yang sakti dan pandai. Tetapi apa hubungannya hal ini dengan sayembara?”

“Peserta yang telah lolos ujian kesaktian, harus mengikuti babak kedua. Yaitu harus bisa memasuki keputren dengan cara membujuk penjaganya.”
“Lalu, siapa yang akan dijadikan penjaga keputren?”
“Manusia satu kata itu, Paduka.”
“Lho, ia amat bodoh. Nanti acara kita berantakan!”
“Percayalah pada hamba, Paduka.”
Pada hari yang ditentukan, peserta sayembara berkumpul di alun-alun. Mereka adalah raja muda dan pangeran dari kerajaan tetangga. Di babak pertama, kesaktian para peserta diuji. Dan, hanya tiga peserta yang berhasil.

Ketiganya lalu dibawa ke depan pintu gerbang keputren. Patih memberi penjelasan pada mereka. Nampaknya mudah. Mereka hanya disuruh membujuk penjaga keputren sehingga dapat masuk keputren.

Peserta hanya boleh mengucapkan tiga pertanyaan.
“Penjaga yang baik. Bolehkah aku masuk keputren?” tanya peserta pertama.
“Tidak!” jawab si manusia satu kata.
“Maukah kuberi emas sebanyak kau mau, asal aku diperbolehkan masuk?”
“Tidak!”

Pertanyaan tinggal satu.
“Kau akan kujadikan Senopati di kerajaanku, asal aku boleh masuk.”
“Tidak!” ujar si manusia satu kata.
Peserta pertama gugur. Ia mundur dengan lemah lunglai. Peserta kedua maju. Ia telah menyusun pertanyaan yang dianggapnya akan berhasil,

“Penjaga, kalau aku boleh masuk keputren, kau akan kunikahkan dengan adikku yang cantik. Setuju?” pertayaan pertama peserta kedua.
“Tidak!”
“Separoh kerajaan kuberikan padamu, setuju?”
“Tidak!”
“Katakan apa yang kau inginkan, asal aku boleh masuk.”
“Tidak!”
Peserta kedua pun mundur dengan kecewa. Mendengar percakapan dua peserta yang tak mampu masuk keputren, Raja Mahendra tersenyum puas. Pandai benar patihku, katanya dalam hati.
Peserta terakhir maju.

Semua penonton termasuk Raja Mahendra memperhatikan dengan seksama. Raja muda itu tampak percaya diri. Langkahnya tegap penuh keyakinan.

“Wahai penjaga keputren, jawablah pertanyaanku baik-baik. Tidak dilarangkah aku masuk keputren?” tanyanya dengan suara mantap. Raja Mahendra, Patih, dan penonton terkejut dengan pertanyaan itu.

Dengan mantap pula penjaga menjawab.
“Tidak!” Seketika itu sorak-sorai penonton bergemuruh, mengiringi kebehasilan peserta terakhir. Si raja muda yang gagah lagi tampan. Raja Mahendra sangat senang dengan keberhasilan itu. Calon menantunya sakti dan pandai.

Sayembara usai. Manusia satu kata berjasa lagi pada Raja Mahendra. Ia dapat menyeleksi calon menantu yang pandai. Walau bodoh, Raja Mahendra tetap mempekerjakannya sebagai penjaga keputren.
Read More