Got My Cursor @ 123Cursors.com

Peringatan Aneh

01.46 |

Suatu hari Abu Nawas dipanggil Baginda.
"Abu Nawas." kata Baginda Raja Harun Al Rasyid memulai pembicaraan.
"Daulat Paduka yang mulia." kata Abu Nawas penuh takzim.
"Aku harus berterus terang kepadamu bahwa kali ini engkau kupanggil bukan
untuk kupermainkan atau kuperangkap. Tetapi aku benar-benar memerlukan
bantuanmu." kata Baginda bersungguh-sungguh.
"Gerangan apakah yang bisa hamba lakukan untuk Paduka yang mulia?" tanya
Abu Nawas.

"Ketahuilah bahwa beberapa hari yang lalu aku mendapat kunjungan
kenegaraan dari negeri sahabat. Kebetulan rajanya beragama Yahudi. Raja itu
adalah sahabat karibku. Begitu dia berjumpa denganku dia langsung
mengucapkan salam secara Islam, yaitu Assalamualaikum (kesejahteraan buat
kalian semua) Aku tak menduga sama sekali. Tanpa pikir panjang aku
menjawab sesuai dengan yang diajarkan oleh agama kita, yaitu kalau mendapat
salam dari orang yang tidak beragama Islam hendaklah engkau jawab dengan
Wassamualaikum (Kecelakaan bagi kamu) Tentu saja dia merasa tersinggung.
Dia menanyakan mengapa aku tega membalas salamnya yang penuh doa
keselamatan dengan jawaban yang mengandung kecelakaan. Saat itu sungguh
aku tak bisa berkata apa-apa selain diam. Pertemuanku dengan dia selanjutnya
tidak berjalan dengan semestinya. Aku berusaha menjelaskan bahwa aku hanya

melaksanakan apa yang dianjurkan oleh ajaran agama Islam. Tetapi dia tidak
bisa menerima penjelasanku. Aku merasakan bahwa pandangannya terhadap
agama Islam tidak semakin baik, tetapi sebaliknya. Dan sebelum kami berpisah
dia berkata: Rupanya hubungan antara. kita mulai sekarang tidak semakin baik,
tetapi sebaliknya. Namun bila engkau mempunyai alasan laih yang bisa aku
terima, kita akan tetap bersahabat." kata Baginda menjelaskan dengan wajah
yang amat murung.
"Kalau hanya itu persoalannya, mungkin, hamba bisa memberikan alasan yang
dikehendaki rajaf sahabat Paduka itu yang mulia." kata Abu Nawas meyakinkan
Baginda.
Mendengar kesanggupan Abu Nawas, Baginda amat riang. Beliau berulang-ulang
menepuk pundak Abu Nawas. Wajah Baginda yang semula gundah gulana
seketika itu berubah cerah secerah matahari di pagi hari.
"Cepat katakan, wahai Abu Nawas. Jangan biarkan aku menunggu." kata
Baginda tak sabar.
"Baginda yang mulia, memang sepantasnyalah kalau raja Yahudi itu
menghaturkan ucapan salam keselamatan dan kesejahteraan kepada Baginda.
Karena ajaran Islam memang menuju keselamatan (dari siksa api neraka) dan
kesejahteraan (surga) Sedangkan Raja Yahudi itu tahu Baginda adalah orang
Islam. Bukankah Islam mengajarkan tauhid (yaitu tidak menyekutukan Allah
dengan yang lain, juga tidak menganggap Allah mempunyai anak. Ajaran tauhid
ini tidak dimiliki oleh agama-agama lain termasuk agama yang dianut Raja
Yahudi sahabat Paduka yang mulia. Ajaran agama Yahudi menganggap Uzair

Allah dari segala sangkaan mereka.Tidak pantas Allah mempunyai anak.
Sedangkan orang Islam membalas salam dengan ucapan Wassamualaikum
(kecelakaan bagi kamu) bukan berarti kami mendoakan kamu agar celaka.
Tetapi semata-mata karena ketulusan dan kejujuran ajaran Islam yang masih
bersedia memperingatkan orang lain atas kecelakaan yang akan menimpa
mereka bila mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan yang keliru itu,
yaitu tuduhan mereka bahwa Allah Yang Maha Pengasih mempunyai anak." Abu
Nawas menjelaskan.
Seketika itu kegundahan Baginda Raja Harun Al Rasyid sirna. Kali ini saking
gembiranya Baginda menawarkan Abu Nawas agar memilih sendiri hadiah apa
yang disukai. Abu Nawas tidak memilih apa-apa karena ia berkeyakinan bahwa
tak selayaknya ia menerima upah dari ilmu agama yang ia sampaikan.
Read More

Empat Perempuan dalam Perut Babi3

01.44 |

Mencapai pelataran rumah Sekar, termangu di bawah pohon kersen
yang berbuah lebat, ranum-ranum kemerahan, mengapa yang
kutemui malah wajah pucat perempuan itu? Ia tinggal di lingkungan
rumah-rumah tua, yang kebanyakan belum lagi dipugar, dengan
Eyang Putri, Ibu, dan adik perempuannya. Rupanya perempuan
berumur tiga puluhan itu tak pernah menghiraukan datangnya
siang dan malam. Dia melukis hingga larut, dan setelah itu tidur
sepanjang siang. Aku datang sore hari, yang kukira dia dalam
keadaan rapi sehabis mandi. Tapi perempuan itu, sungguh
mengejutkan, baru saja bangun tidur. Belum makan. Belum minum.
Terlihat letih. Acak-acakan. Tubuhnya rapuh. Tatapannya
menerawang ke kehidupan yang jauh, menembus labirin buram,
tabir waktu yang telah diluruhkannya.
"Kamu mau membeli lukisanku?" tanya Sekar sinis, seperti tak
memerlukan kehadiranku. "Tampaknya kau begitu yakin, aku akan
melepaskan lukisan itu."
"Aku masih berharap kau mau melepas lukisan itu."
"Tak akan kulepas, kecuali aku mati."
Tertawa, memandangi Sekar yang lunglai, aku meredakan hasratku
menaklukkannya. Kutawarkan padanya untuk makan di sebuah
restoran. Dia menolak. Kutawarkan padanya untuk berjalan-jalan.
Dia menggeleng. Diambilnya sebatang rokokku. Dan berseru ke
warung sebelah untuk mengantarkan dua botol minuman.
"Lukisan itu terlalu pribadi. Tak kan dijual. Berkisah tentang
keluargaku sendiri," kata Sekar. "Seumur hidup aku hanya
menemukan Eyang Putri, Ibu, diriku, dan seorang adik perempuan.
Tanpa lelaki di rumahku."
3 21 Januari 2007
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 19
"Lalu kenapa keempat perempuan itu berada dalam perut babi?"
"Kamu sudah tahu, siapa babi itu."
Siapakah yang dimaksud babi dalam lukisan itu. Ayahnya? Lelaki
brengsek yang telah merusak kehidupan keluarganya? Dia selalu
tertawa sinis bila aku bertanya, siapakah yang dimaksud dengan
babi dalam lukisan itu. Tapi sebenarnya aku tak perlu bertanya,
siapakah yang dimaksud babi dalam lukisan itu. Lukisan itulah
yang memancarkan sapuan kuasnya. Sapuan kuasnya tak bimbang,
tak setengah hati. Garis-garis lukisannya cepat dan mendalam.
Sekar meninggalkanku. Dia muncul dengan tubuh yang segar,
berdandan rapi, dan berucap ringan. "Aku mau pergi." Aku merasa
terusir. Ada juga rupanya seorang perempuan yang begitu saja
menelantarkan tamu yang sedang asyik duduk di teras rumahnya,
sambil memandangi daun-daun karena luruh di pelataran. Kuajak
dia pergi bersama dengan mobilku. Dia menolak. Membayar dua
minuman botol ke warung sebelah. Melangkah menyusuri gang.
Kuserukan lagi agar dia turut dengan mobilku. Tapi, lagi-lagi, dia
menolak.
Dengan begitu saja Sekar meninggalkanku di bawah pohon kersen.
Seorang diri ia menyusuri lorong gang sempit menuju jalan raya.
Aku masih belum ingin beranjak dari bawah pohon kersen. Teringat
masa kecil, di rumah Eyang Kakung, bergelayutan memetik buahbuah
kersen ranum, mengulumnya dalam mulut. Eyang Kakung
dulu selalu mengumpatku dengan kasar, bila mendapatiku
meninggalkan pekerjaan, dan memanjat pohon kersen. "Dasar, babi
tengik!"
Aku tak paham, kenapa aku ditelantarkan Ayah. Ibu menitipkanku
pada Eyang Kakung, yang selalu menyuruhku menyapu pelataran,
mengepel lantai, menimba air sumur memenuhi bak mandi, mencuci
pakaian dan piring. Cucu-cucu lain, yang datang dari keluarga kaya,
dibiarkan bersenda gurau, mengotori lantai, menghabiskan air di
bak mandi, dan menumpuk piring-piring kotor. Akulah, yang
dipanggil babi tengik, yang mesti membersihkan segalanya. Di
bawah pohon kersen depan rumah Eyang Kakung itulah aku
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
20 Laha collection
berayun-ayun menghibur diri, merenung, kenapa diperlakukan
buruk dan diumpat sebagai babi tengik.
Aku tak pernah mengadu pada Ibu, bila selalu mendapat umpatan
babi tengik. Aku menampakkan kegembiraan, bila Ibu menengokku
di rumah Eyang Kakung. Dan ketika di galeri lukis, beberapa hari
yang lalu, aku tercengang menatap lukisan empat perempuan dalam
perut babi. Terpukau. Aku teringat Eyang Kakung, yang selalu
memanggilku babi tengik. Ketika beliau meninggal, ketika cucucucu
lain menangis, aku tak bisa menangis. Seekor babi tengik
macam aku, tak pantas menangisi kematian manusia yang
dimuliakan anak cucunya. Aku juga selalu menolak berdoa di sisi
makamnya. Doa babi tengik, mana mungkin terkabul?
Lukisan Sekar telah menggetarkan dadaku. Aku jadi ingin selalu
melihatnya. Ketika lukisan itu ingin kubeli, Sekar tak pernah
merelakannya. Aku memburunya dalam beberapa pameran, hingga
ke rumah Sekar. Tapi aneh. Ia kukuh dalam pendirian: tak mau
melepas lukisan itu. Kalau tak diperkenankan membeli lukisan itu,
aku ingin melihatnya.
Dan di rumah besar yang didiami Sekar, terdapat Eyang Putri, Ibu,
adik perempuan Sekar, yang kesemuanya bergerak lamban. Eyang
Putri selalu memandangiku dengan lama, penuh perenungan,
seperti ingin mendalamiku, ingin memahami perasaanku. Ibunya
sedikit lebih terbuka. Tersenyum dan mengajakku berbincangbindcang.
"Kau teman Sekar?"
"Betul. Aku ingin membeli lukisannya."
"Sekar tak kan melepas lukisan empat perempuan dalam perut babi.
Kalau kau memang ingin membeli lukisannya, belilah yang lain."
"Aku hanya ingin melihat lukisan itu!"
Dibawalah aku ke sanggar lukis Sekar. Sebuah ruang yang agak luas
di ruang belakang. Berjajar lukisan, kanvas, dan sebuah lukisan yang
tak jadi, yang ditinggalkannya begitu saja. Ia pergi, dan tak tahu
kapan bakal kembali. Tapi memandangi lukisan empat perempuan
dalam perut babi, aku mulai memahami sepi yang merasuki suasana
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 21
hatinya. Aku memahami betapa ia terhina. Apakah itu lantaran ulah
ayahnya sepertiku? Ia tak pernah menyebut-nyebut ayah dalam
hidupnya. Berkali-kali ia berbicang denganku, tetapi tidak pernah
benar-benar menyingkap endapan perasaannya. Ia sungguh lebih
parah dariku. Mungkin ia menanggung penghinaan yang lebih keji
dariku. Ia tak memiliki apa pun, kecuali melukis.
Kutunggui Sekar melukis. Aku diperkenankannya menunggui ia
melukis malam itu. Berkali-kali aku memohon untuk dibiarkan
menungguinya melukis. Dia memang memperkenankannya. Dia
akan melukis. Ia banyak merokok, menenggak anggur merah, dan
beberapa waktu merenung. Hampir tak berkata-kata. Berdiam diri.
Aku tak disapanya sama sekali, kecuali dibiarkannya terkesima. Dia
sempat berkata lirih, "Kuizinkan kau untuk memiliki lukisanku ini."
Dan mulailah Sekar melukis. Mula-mula pelan, sangat pelan, tipis,
dengan guratan-guratan samar. Lambat laun ia bergerak lebih cepat.
Lebih capat lagi, tegas, dan goresannya meluapkan perasaanperasaan
yang tak terduga. Sesekali ia menenggak anggur merah itu.
Langsung dikulum dari mulut botol. Merokok. Melukis lagi.
Membiarkanku terdiam. Memandanginya. Tirai gerimis dan desau
angin merapuhkan malam. Ibu Sekar, perempuan setengah baya
yang menyisakan gurat wajah keningratannya, menyuguhkan dua
cangkir kopi mengepul dan goreng pisang hangat.
Lewat tengah malam baru aku tahu, Sekar melukis seekor babi
dengan tiga perempuan dalam perutnya. Dan seorang perempuan
membebaskan diri dari perut babi itu. Bersayap lembut. Meronta.
Tersenyum. Terbang meninggalkan ketiga perempuan yang
meringkuk dalam perut babi.
Aku tertidur. Bergelung di atas karpet merah. Gelisah. Sesekali
terbangun. Menatap Sekar masih melukis. Tubuhnya melemah. Tapi
terus saja ia melukis. Tak berhenti. Aku tertidur lagi. Merasakan
angin pagi yang dingin, sepi, dan gugus waktu yang luruh. Tercium
harum buah-buah kersen ranum. Aneh. Tidur yang sungguh aneh.
Aku mencium aroma buah-buah kersen ranum yang terkelupas kulit
luarnya. Menyengat, segar, dan manis.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
22 Laha collection
Sebuah tangan mengguncang tubuhku. Ibu Sekar
membangunkanku. Aku tergeragap. Kabur. Samar. Bergoyang
karena kantuk. Tubuh Sekar terbujur di bawah kanvas berlukiskan
tiga perempuan bergelung dalam perut babi, dan seorang
perempuan yang lain, bersayap, membebaskan diri.
"Sekar sudah meninggal," kata ibu Sekar, parau, tersekap dingin
pagi. Ia memintaku mengangkat tubuh Sekar ke meja. Menata
tubuhnya. Ia cantik, pucat, dan menampakkan segurat senyum.
Kecantikan yang ikhlas. Kecantikan yang tak lagi menampakkan
gurat dendam. Langit disepuh hangat fajar yang rekah, pelan, dan
merebakkan aroma buah-buah kersen ranum yang terserak di
pelataran rumah. Tetangga-tetangga berdatangan. Memandangi
jasad Sekar. Memandangi lukisan yang hampir selesai: tiga
perempuan di dalam perut babi dan seorang perempuan bersayap
yang meninggalkan perut babi itu.
Pemakaman di bukit itu hampir-hampir tanpa pelayat. Sekar madi
dalam kesepian. Aku menungguinya. Seperti tersihir, aku tertidur.
Kini saat dia dimakamkan, hanya terhitung beberapa orang yang
hadir. Selain Eyang Putri, Ibu, adik perempuan Sekar dan aku,
beberapa teman dekat perempuan itu—dapat dihitung dengan jari
tangan—menaburkan bunga di atas pusaranya.
Datang seorang lelaki tampan, berambut putih, mendaki makam.
Diiringi dua orang ajudan yang berjalan tegap di belakangnya.
Semua orang memandanginya. Dia tampak bimbang. Lelaki itu—
seorang pejabat negara—datang dengan penampilan penuh harga
diri. Enggan mendekat ke arah gundukan makam. Ibu Sekar yang
bergegas menyambut. Menyalaminya. Dalam rindu dan duka yang
tertahan. Tak memeluk lelaki tampan berambut putih itu. Ia
menawarkan sekeranjang kembang untuk ditaburkan. Tapi ditolak.
Ia menawarkan kendi berisi air agar dikucurkan di atas makam
Sekar, sambil berbisik, "Ini yang terakhir, agar dia tenteram."
Bimbang sesaat, lelaki tampan dengan dagu terangkat—yang
terkesan congkak itu—menggenggam leher kendi. Mengucurkan air
kendi di atas makam Sekar. Aku berpikir, inikah babi yang
dimaksud Sekar? Betapa tampan, ningrat, dan mengambil jarak
dengan siapa pun yang hadir dalam pemakaman.
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
Laha collection 23
Turun dari makam, aku kehilangan selera memiliki lukisan yang
diselesaikan Sekar hingga menjemput ajal. Aku tak tega
memilikinya. Sekar memendam luka maha dalam. Ia telah
mempertaruhkan hidupnya saat menyelesaikan lukisan itu. Aku tak
segera pulang. Kembali ke rumah duka. Duduk di bawah pohon
kersen. Tercium aroma buah- buah kersen ranum, harum, dan
terserak di pelataran rumah tua.
Pandana Merdeka, November 19, 2006
Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas 2007
24 Laha collection
Read More

Lolos dari Maut

01.41 |

Karena dianggap hampir membunuh Baginda maka Abu Nawas mendapat
celaka. Dengan kekuasaan yang absolut Baginda memerintahkan prajuritprajuritnya
langsung menangkap dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke
penjara.
Waktu itu Abu Nawas sedang bekerja di ladang karena musim tanam kentang
akan tiba. Ketika para prajurit kerajaan tiba, ia sedang mencangkul. Dan tanpa
alasan yang jelas mereka langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah
Baginda. Abu Nawas tidak berkutik. Kini ia mendekam di dalam penjara.
Beberapa hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam. Sedangkan istrinya tidak
cukup kuat untuk melakukan pencangkulan. Abu Nawas tahu bahwa tetanggatetangganya
tidak akan bersedia membantu istrinya sebab mereka juga sibuk
dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tidak ada yang bisa dilakukan di
dalam 'penjara kecuali mencari jalan keluar.
Seperti biasa Abu Nawas tidak bisa tidur dan tidak enak makan. la hanya makan
sedikit. Sudah dua hari ia meringkuk di dalam penjara. Wajahnya murung.
Hari ketiga Abu Nawas memanggil seorang pengawal. "Bisakah aku minta tolong
kepadamu?" kata Abu Nawas membuka pembicaraan.
"Apa itu?" kata pengawal itu tanpa gairah.



"Aku ingin pinjam pensil dan selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk
istriku. Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting yang hanya boleh
diketahui oleh istriku saja."
Pengawal itu berpikir sejenak lalu pergi meninggalkan Abu Nawas.
Ternyata pengawal itu merighadap Baginda Raja untuk melapor.
Mendengar laporan dari pengawal, Baginda segera menyediakan apa yang
diminta Abu Nawas. Dalam hati, Baginda bergumam mungkin kali ini ia bisa
mengalahkan Abu Nawas:
Abu Nawas menulis surat yang berbunyi: "Wahai istriku, janganlah engkau
sekali-kali menggali ladang kita karena aku menyembunyikan harta karun dan
senjata di situ. Dan tolong jangan bercerita kepada siapa pun."
Tentu saja surat itu dibaca oleh Baginda karena beliau ingin tahu apa
sebenarnya rahasia Abu Nawas. Setelah membaca surat itu Baginda merasa
puas dan langsung memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali
ladang Abu Nawas. Dengan peralatan yarig dibutuhkan mereka berangkat dan
langsung menggali ladang Abu Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran.
Mungkinkah suaminya minta tolong pada mereka?


Pertanyaan itu tidak terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit.
Mereka hanya menyerahkan surat Abu Nawas kepadanya.
Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu
berbunyi: "Mungkin suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena
beberapa pekerja istana datang ke sini dua hari yang lalu, mereka menggali
seluruh ladang kita. Lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?"
Rupanya istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan
bijaksana Abu Nawas membalas: "Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang
tanpa harus menggali, wahai istriku."
Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi. Bagi.nda makin
mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu
Nawas masih bisa melakukan pencangkulan.
********
Abu Nawas masih mengeram di penjara. Namun begitu Abu Nawas masih bisa
menyelesaikan pekerjaannya dengan memakai tangan orang lain.


Baginda berpikir. Sejenak kemudian beliau segera memerintahkan sipir penjara
untuk membebaskan Abu Nawas. Baginda Raja tidak ingin menanggung resiko
yang lebih buruk. Karena akal Abu Nawas tidak bisa ditebak. Bahkan di dalam
penjara pun Abu Nawas masih sanggup menyusahkan prang. Keputusan yang
dibuat Baginda Raja untuk melepaskan Abu Nawas memang sangat tepat.
Karena bila sampai Abu Nawas bertambah sakit hati maka tidak mustahil
kesusahan yang akan ditimbulkan akan semakin gawat.
Kini hidung Abu Nawas sudah bisa menghisap udara kebebasan di luar. Istri Abu
Nawas menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat
dirindukan. Abu Nawas juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan
membuahkan hasil yang bisa dipetik dalam waktu dekat.
Abu Nawas memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah.
Bagaimana Abu Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak
lagi memakai perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja
langsung memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti
Baginda langsung menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat
ini Baginda pasti sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung
untuk menyambut hujan yang akan diciptakan Baginda Raja. Pada hari itu Abu
Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib.
Sejak membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat
panggilan dari orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai
orang yang hartdal daiam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli
ramal yang jitu.


Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun
Al Rasyid merasa khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa membahayakan
kerajaan. Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap.
Abu Nawas sejak semula yakin Baginda Raja kali ini berniat akan menghabisi
riwayatnya. Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas
sudah mempersiapkan tameng.
Setelah beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju
tempat kematian. Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang
baru diasah. Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang.
Baginda merasa kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga
bertanya-tanya dalam hati mengapa Abu Nawas begitu tabah menghadapi
detik-detik terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang,
Abu Nawas tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan pemancungan.
Beliau bertanya, "Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri
menghadapi pedang algojo?"
"Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira." jawab Abu
Nawas sambil tersenyum.
"Engkau merasa gembira?" tanya Baginda kaget.


"Betul Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba,
maka Baginda pun akan mangkat menyusul hamba ke Hang lahat, karena hamba
tidak bersalah sedikit pun." kata Abu Nawas tetap tenang.
Baginda gemetar mendengar ucapan Abu Nawas. dan tentu saja hukuman
pancung dibatalkan.
Abu Nawas digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu
Nawas diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu
Nawas disuguhi hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasa
tinggal di penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada
penjaga penjara bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa
jatuh sakit atau meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas
setelah mendengar penuturan penjaga penjara.
*****
Cita-cita atau obsesi menghukum Abu Nawas sebenarnya masih bergolak,
namun Baginda merasa kehabisan akal untuk menjebak Abu Nawas.
Seorang penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan agar
Baginda memanggil seorang ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi untuk
menandingi Abu Nawas. Pasti masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu
Nawas. Menjebak pencuri harus dengan pencuri.Dan ulama dengan ulama.
Baginda menerima usul yang cemerlang itu dengan hati bulat.


Setelah ulama yang berilmu tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja
menanyakan cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu caracara
yang paling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut
setuju. Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa
ramalan Abu Nawas tentang takdir kematian Baginda Raja sama sekali tidak
mempunyai dasar yang kuat. Tiada seorang pun manusia yang tahu kapan dan
di bumi mana ia akan mati apalagi tentang ajal orang lain.
Ulama andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk
memberikan pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai
rencana. Abu Nawas terjerembab ke lubang siasat sang ulama. Abu Nawas
melakukan kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau tempat
pemancungan.
Benarlah peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu
saat akan terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia
akan dihukum mati karena jebakan sang ilmuwan-ulama.
Benarkah Abu Nawas sudah keok?
Kita lihat saja nanti.


Banyak orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang
miskin dan tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para
pecinta dan pengagum Abu Nawas tak akan mampu menghentikan hukuman
mati yang akan dijatuhkan.
Baginda Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kernenangannya. Belum
pernah Baginda terlihat seriang sekarang.
Keyakinan orang banyak bertambah mantap. Hanya sat orang yang tetap tidak
yakin bahwa hidup Abu Nawas aka berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas.
Bukankah Alia Azza Wa Jalla lebih dekat daripada urat leher. Tidak ada yang
tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan kematian adalah mutlak
urusan-Nya. Semakin dekat hukuman mati bagi Abu Nawas. Orang banyak
semakin resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin dekat
hukuman bagi dirinya, semakin tegar hatinya.
Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah
merupakan bagian dari tipu dayanya. Tetapi Baginda Raja telah bersumpah
pada diri sendiri bahwa beliau tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya.
Sebaliknya Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih melekat maka harapan
akan terus menyertainya. Tuhan tidak mungkin menciptakan alam semesta ini
tanpa ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang
bagaimanapun gawatnya.
Keyakinan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu.
Seketika suasana menjadi hening, sewaktu Bagin Raja memberi sambutan
singkattentang akan dilaksanakan hukuman mati atas diri terpidana mati Abu


Nawas. Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan
permintaan terakhir Abu Nawas. Dan pertanyaan inilah yang paling dinantinantikan
Abu Nawas.
"Adakah permintaan yang terakhir"
"Ada Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas singkat.
"Sebutkan." kata Baginda.
"Sudilah kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba
anggap cocok wahai Baginda yang mulia." pinta Abu Nawas.
"Baiklah." kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas..
"Paduka yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba
bersedia dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka
hamba dihukum gantung saja." kata Abu Nawas memohon.
"Engkau memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun
engkau masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu


muslihatmu hari ini tak akan bisa membawamu kemana-mana." kata Baginda
sambil tertawa.
"Hamba tidak bersenda gurau Paduka yang mulia." kata Abu Nawas bersungguhsungguh.
Baginda makin terpingkal-pingkal. Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa,
Abu Nawas berteriak dengan nyaring.
"Hamba minta dihukum pancung!"
Semua yang hadir kaget. Orang banyak belum mengerti mengapa Abu Nawas
membuat keputusan begitu. Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap
sesuatu yang lain. Sehingga tawa Baginda yang semula berderai-derai
mendadak terhenti. Kening Baginda berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas.
Baginda Raja tidak berani menarik kata-katanya karena disaksikan oleh ribuan
rakyatnya.
Beliau sudah terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati
yang paling cocok untuk dirinya.


Kini kesempatan Abu Nawas membela diri.
"Baginda yang mulia, hamba tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum
pancung. Kalau pilihan hamba benar maka hamba dihukum gantung. Tetapi di
manakah letak kesalahan pilihan hamba sehingga hamba hams dihukum
gantung. Padahal hamba telah memilih hukuman pancung?"
Olah kata Abu Nawas memaksa Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benarbenar
luar biasa otak Abu Nawas ini. Rasanya tidak ada lagi manusia pintar
selain Abu Nawas di negeri Baghdad ini.
"Abu Nawas aku mengampunimu, tapi sekarang jawablah pertanyaanku ini.
Berapa banyakkah bintang di langit?"
"Oh, gampang sekali Tuanku."
"Iya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?" tanya Baginda.
"Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai."


"Kau ini.... bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?"
"Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?"
"Ha ha ha ha ha...! Kau memang penggeli hati.
Kau adalah pelipur laraku. Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan,
sering-seringlah datang ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar leluconleluconmu
yang baru!"
"Siap Baginda !"
Read More

The Frog-Prince

01.39 |

One fine evening a young princess put on her bonnet and clogs, and went out to take a walk by herself in a wood; and when she came to a cool spring of water, that rose in the midst of it, she sat herself down to rest a while. Now she had a golden ball in her hand, which was her favourite plaything; and she was always tossing it up into the air, and catching it again as it fell. After a time she threw it up so high that she missed catching it as it fell; and the ball bounded away, and rolled along upon the ground, till at last it fell down into the spring. The princess looked into the spring after her ball, but it was very deep, so deep that she could not see the bottom of it. Then she began to bewail her loss, and said, ‘Alas! if I could only get my ball again, I would give all my fine clothes and jewels, and everything that I have in the world.’
Whilst she was speaking, a frog put its head out of the water, and said, ‘Princess, why do you weep so bitterly?’
‘Alas!’ said she, ‘what can you do for me, you nasty frog? My golden ball has fallen into the spring.’ The frog said, ‘I want not your pearls, and jewels, and fine clothes; but if you will love me, and let me live with you and eat from
eBook brought to you by

Grimms’ Fairy Tales
Create, view, and edit PDF. Download the free trial version.


off your golden plate, and sleep upon your bed, I will bring you your ball again.’ ‘What nonsense,’ thought the princess, ‘this silly frog is talking! He can never even get out of the spring to visit me, though he may be able to get my ball for me, and therefore I will tell him he shall have what he asks.’ So she said to the frog, ‘Well, if you will bring me my ball, I will do all you ask.’ Then the frog put his head down, and dived deep under the water; and after a little while he came up again, with the ball in his mouth, and threw it on the edge of the spring. As soon as the young princess saw her ball, she ran to pick it up; and she was so overjoyed to have it in her hand again, that she never thought of the frog, but ran home with it as fast as she could. The frog called after her, ‘Stay, princess, and take me with you as you said,’ But she did not stop to hear a word.
The next day, just as the princess had sat down to dinner, she heard a strange noise—tap, tap—plash, plash— as if something was coming up the marble staircase: and soon afterwards there was a gentle knock at the door, and a little voice cried out and said:
’Open the door, my princess dear, Open the door to thy true love here! And mind the words that thou and I said
By the fountain cool, in the greenwood shade.’


Then the princess ran to the door and opened it, and there she saw the frog, whom she had quite forgotten. At this sight she was sadly frightened, and shutting the door as fast as she could came back to her seat. The king, her father, seeing that something had frightened her, asked her what was the matter. ‘There is a nasty frog,’ said she, ‘at the door, that lifted my ball for me out of the spring this morning: I told him that he should live with me here, thinking that he could never get out of the spring; but there he is at the door, and he wants to come in.’
While she was speaking the frog knocked again at the door, and said:
’Open the door, my princess dear, Open the door to thy true love here! And mind the words that thou and I said
By the fountain cool, in the greenwood shade.’

Then the king said to the young princess, ‘As you have given your word you must keep it; so go and let him in.’ She did so, and the frog hopped into the room, and then straight on—tap, tap—plash, plash— from the bottom of the room to the top, till he came up close to the table where the princess sat. ‘Pray lift me upon chair,’ said he to the princess, ‘and let me sit next to you.’ As soon as she had done this, the frog said, ‘Put your plate nearer to me,


that I may eat out of it.’ This she did, and when he had eaten as much as he could, he said, ‘Now I am tired; carry me upstairs, and put me into your bed.’ And the princess, though very unwilling, took him up in her hand, and put him upon the pillow of her own bed, where he slept all night long. As soon as it was light he jumped up, hopped downstairs, and went out of the house. ‘Now, then,’ thought the princess, ‘at last he is gone, and I shall be troubled with him no more.’
But she was mistaken; for when night came again she heard the same tapping at the door; and the frog came once more, and said:
’Open the door, my princess dear, Open the door to thy true love here! And mind the words that thou and I said
By the fountain cool, in the greenwood shade.’

And when the princess opened the door the frog came in, and slept upon her pillow as before, till the morning broke. And the third night he did the same. But when the princess awoke on the following morning she was astonished to see, instead of the frog, a handsome prince, gazing on her with the most beautiful eyes she had ever seen, and standing at the head of her bed.


He told her that he had been enchanted by a spiteful fairy, who had changed him into a frog; and that he had been fated so to abide till some princess should take him out of the spring, and let him eat from her plate, and sleep upon her bed for three nights. ‘You,’ said the prince,
‘have broken his cruel charm, and now I have nothing to wish for but that you should go with me into my father’s kingdom, where I will marry you, and love you as long as you live.’
The young princess, you may be sure, was not long in saying ‘Yes’ to all this; and as they spoke a gay coach drove up, with eight beautiful horses, decked with plumes of feathers and a golden harness; and behind the coach rode the prince’s servant, faithful Heinrich, who had bewailed the misfortunes of his dear master during his enchantment so long and so bitterly, that his heart had well-nigh burst.
They then took leave of the king, and got into the coach with eight horses, and all set out, full of joy and merriment, for the prince’s kingdom, which they reached safely; and there they lived happily a great many years.
Read More

The Twelve Dancing Princesses

01.38 |

There was a king who had twelve beautiful daughters. They slept in twelve beds all in one room; and when they went to bed, the doors were shut and locked up; but every morning their shoes were found to be quite worn through as if they had been danced in all night; and yet nobody could find out how it happened, or where they had been.
Then the king made it known to all the land, that if any person could discover the secret, and find out where it was that the princesses danced in the night, he should have the one he liked best for his wife, and should be king after his death; but whoever tried and did not succeed, after three days and nights, should be put to death.
A king’s son soon came. He was well entertained, and in the evening was taken to the chamber next to the one where the princesses lay in their twelve beds. There he was to sit and watch where they went to dance; and, in order that nothing might pass without his hearing it, the door of his chamber was left open. But the king’s son soon fell asleep; and when he awoke in the morning he found that the princesses had all been dancing, for the soles of


their shoes were full of holes. The same thing happened the second and third night: so the king ordered his head to be cut off. After him came several others; but they had all the same luck, and all lost their lives in the same manner.
Now it chanced that an old soldier, who had been wounded in battle and could fight no longer, passed through the country where this king reigned: and as he was travelling through a wood, he met an old woman, who asked him where he was going. ‘I hardly know where I am going, or what I had better do,’ said the soldier; ‘but I think I should like very well to find out where it is that the princesses dance, and then in time I might be a king.’ ‘Well,’ said the old dame, ‘that is no very hard task: only take care not to drink any of the wine which one of the princesses will bring to you in the evening; and as soon as she leaves you pretend to be fast asleep.’
Then she gave him a cloak, and said, ‘As soon as you put that on you will become invisible, and you will then be able to follow the princesses wherever they go.’ When the soldier heard all this good counsel, he determined to try his luck: so he went to the king, and said he was willing to undertake the task.


He was as well received as the others had been, and the king ordered fine royal robes to be given him; and when the evening came he was led to the outer chamber. Just as he was going to lie down, the eldest of the princesses brought him a cup of wine; but the soldier threw it all away secretly, taking care not to drink a drop. Then he laid himself down on his bed, and in a little while began to snore very loud as if he was fast asleep. When the twelve princesses heard this they laughed heartily; and the eldest said, ‘This fellow too might have done a wiser thing than lose his life in this way!’ Then they rose up and opened their drawers and boxes, and took out all their fine clothes, and dressed themselves at the glass, and skipped about as if they were eager to begin dancing. But the youngest said,
‘I don’t know how it is, while you are so happy I feel very uneasy; I am sure some mischance will befall us.’ ‘You simpleton,’ said the eldest, ‘you are always afraid; have you forgotten how many kings’ sons have already watched in vain? And as for this soldier, even if I had not given him his sleeping draught, he would have slept soundly enough.’
When they were all ready, they went and looked at the soldier; but he snored on, and did not stir hand or foot: so they thought they were quite safe; and the eldest went up


to her own bed and clapped her hands, and the bed sank into the floor and a trap-door flew open. The soldier saw them going down through the trap-door one after another, the eldest leading the way; and thinking he had no time to lose, he jumped up, put on the cloak which the old woman had given him, and followed them; but in the middle of the stairs he trod on the gown of the youngest princess, and she cried out to her sisters, ‘All is not right; someone took hold of my gown.’ ‘You silly creature!’ said the eldest, ‘it is nothing but a nail in the wall.’ Then down they all went, and at the bottom they found themselves in a most delightful grove of trees; and the leaves were all of silver, and glittered and sparkled beautifully. The soldier wished to take away some token of the place; so he broke off a little branch, and there came a loud noise from the tree. Then the youngest daughter said again, ‘I am sure all is not right—did not you hear that noise? That never happened before.’ But the eldest said, ‘It is only our princes, who are shouting for joy at our approach.’
Then they came to another grove of trees, where all the leaves were of gold; and afterwards to a third, where the leaves were all glittering diamonds. And the soldier broke a branch from each; and every time there was a loud noise, which made the youngest sister tremble with fear;


but the eldest still said, it was only the princes, who were crying for joy. So they went on till they came to a great lake; and at the side of the lake there lay twelve little boats with twelve handsome princes in them, who seemed to be waiting there for the princesses.
One of the princesses went into each boat, and the soldier stepped into the same boat with the youngest. As they were rowing over the lake, the prince who was in the boat with the youngest princess and the soldier said, ‘I do not know why it is, but though I am rowing with all my might we do not get on so fast as usual, and I am quite tired: the boat seems very heavy today.’ ‘It is only the heat of the weather,’ said the princess: ‘I feel it very warm too.’ On the other side of the lake stood a fine illuminated castle, from which came the merry music of horns and trumpets. There they all landed, and went into the castle, and each prince danced with his princess; and the soldier, who was all the time invisible, danced with them too; and when any of the princesses had a cup of wine set by her, he drank it all up, so that when she put the cup to her mouth it was empty. At this, too, the youngest sister was terribly frightened, but the eldest always silenced her. They danced on till three o’clock in the morning, and then all their shoes were worn out, so that they were


obliged to leave off. The princes rowed them back again over the lake (but this time the soldier placed himself in the boat with the eldest princess); and on the opposite shore they took leave of each other, the princesses promising to come again the next night.
When they came to the stairs, the soldier ran on before the princesses, and laid himself down; and as the twelve sisters slowly came up very much tired, they heard him snoring in his bed; so they said, ‘Now all is quite safe’; then they undressed themselves, put away their fine clothes, pulled off their shoes, and went to bed. In the morning the soldier said nothing about what had happened, but determined to see more of this strange adventure, and went again the second and third night; and every thing happened just as before; the princesses danced each time till their shoes were worn to pieces, and then returned home. However, on the third night the soldier carried away one of the golden cups as a token of where he had been.
As soon as the time came when he was to declare the secret, he was taken before the king with the three branches and the golden cup; and the twelve princesses stood listening behind the door to hear what he would say. And when the king asked him. ‘Where do my twelve


daughters dance at night?’ he answered, ‘With twelve princes in a castle under ground.’ And then he told the king all that had happened, and showed him the three branches and the golden cup which he had brought with him. Then the king called for the princesses, and asked them whether what the soldier said was true: and when they saw that they were discovered, and that it was of no use to deny what had happened, they confessed it all. And the king asked the soldier which of them he would choose for his wife; and he answered, ‘I am not very young, so I will have the eldest.’—And they were married that very day, and the soldier was chosen to be the king’s heir.
Read More

Putri Melati Wangi

01.35 |

Di sebuah kerajaan, ada seorang putri yang bernama Melati Wangi. Ia seorang putri yang
cantik dan pandai. Di rumahnya ia selalu menyanyi. Tetapi sayangnya ia seorang yang
sombong dan suka menganggap rendah orang lain. Di rumahnya ia tidak pernah mau jika
disuruh menyapu oleh ibunya. Selain itu ia juga tidak mau jika disuruh belajar memasak.
"Tidak, aku tidak mau menyapu dan memasak nanti tanganku kasar dan aku jadi kotor",
kata Putri Melati Wangi setiap kali disuruh menyapu dan belajar memasak.
Sejak kecil Putri Melati Wangi sudah dijodohkan dengan seorang pangeran yang bernama
Pangeran Tanduk Rusa. Pangeran Tanduk Rusa adalah seorang pangeran yang tampan dan
gagah. Ia selalu berburu rusa dan binatang lainnya tiap satu bulan di hutan. Karena itu ia
dipanggil tanduk rusa.
Suatu hari, Putri Melati Wangi berjalan-jalan di taman. Ia
melihat seekor kupu-kupu yang cantik sekali warnanya. Ia
ingin menangkap kupu-kupu itu tetapi kupu-kupu itu segera
terbang. Putri Melati Wangi terus mengejarnya sampai ia
tidak sadar sudah masuk ke hutan. Sesampainya di hutan,
Melati Wangi tersesat. Ia tidak tahu jalan pulang dan
haripun sudah mulai gelap.
Akhirnya setelah terus berjalan, ia menemukan sebuah gubuk yang biasa digunakan para
pemburu untuk beristirahat. Akhirnya Melati Wangi tinggal digubuk tersebut. Karena
tidak ada makanan Putri Melati Wangi terpaksa memakan buah-buahan yang ada di hutan
itu. Bajunya yang semula bagus, kini menjadi robek dan compang camping akibat
tersangkut duri dan ranting pohon. Kulitnya yang dulu putih dan mulus kini menjadi hitam
dan tergores-gores karena terkena sinar matahari dan duri.
Setelah sebulan berada di hutan, ia melihat Pangeran Tanduk Rusa datang sambil
memanggul seekor rusa buruannya. "Hai Tanduk Rusa, aku Melati Wangi, tolong antarkan
aku pulang," kata Melati Wangi. "Siapa? Melati Wangi? Melati wangi seorang Putri yang
cantik dan bersih, sedang engkau mirip seorang pengemis", kata Pangeran Tanduk Rusa. Ia
tidak mengenali lagi Melati Wangi. Karena Melati Wangi terus memohon, akhirnya
Pangeran Tanduk Rusa berkata," Baiklah, aku akan membawamu ke Kerajaan ku".
Setelah sampai di Kerajaan Pangeran Tanduk Rusa. Melati Wangi di suruh mencuci,
menyapu dan memasak. Ia juga diberikan kamar yang kecil dan agak gelap. "Mengapa
nasibku menjadi begini?", keluh Melati Wangi. Setelah satu tahun berlalu, Putri Melati
Wangi bertekad untuk pulang. Ia merasa uang tabungan yang ia kumpulkan dari hasil
kerjanya sudah mencukupi. Sesampainya di rumahnya, Putri Melati Wangi disambut
gembira oleh keluarganya yang mengira Putri Melati Wangi sudah meninggal dunia.
Sejak itu Putri Melati Wangi menjadi seorang putri yang rajin.
Ia merasa mendapatkan pelajaran yang sangat berharga selama
berada di hutan dan di Kerajaan Pangeran Tanduk Rusa.
Akhirnya setahun kemudian Putri Melati Wangi dinikahkan
dengan Pangeran Tanduk Rusa. Setelah menikah, Putri Melati
Wangi dan Pangeran Tanduk Rusa hidup berbahagia sampai hari
tuanya.
Read More

Manusia Satu Kata

01.26 |

Hari yang cerah. Raja Mahendra pergi ke hutan untuk menguji kemampuannya berburu. Ia melarang para pengawal mengikutinya masuk ke hutan. Di tengah hutan, tampak seekor kijang asyik makan rumput. Raja Mahendra langsung membidik anak panahnya.

Ah, kijang itu berhasil melarikan diri. Raja Mahendra mengejarnya. Namun ia terperosok masuk ke lubang yang cukup dalam. Ia berteriak sekeras-kerasnya memanggil para pengawal. Namun suaranya lenyap ditelan lebatnya hutan. Selagi Raja Mahendra merenungi nasibnya, ia terkejut melihat seseorang berdiri di tepi lubang.
“Hei! Siapa kau?” tanya Raja. Orang itu tak menjawab. “Aku Raja Mahendra! Tolong naikkan aku!” pintanya dengan nada keras. “Tidak!” jawab orang itu. Raja menjadi geram. Ia ingin memanah orang itu. Namun sebelum anak panah melesat, orang itu lenyap. Tak lama kemudian, jatuhlah seutas tali. Raja mengira itu pengawalnya. Namun, ternyata orang tadi yang melempar tali.

“Jadi kau mau menolongku?”
“Tidak!” jawabnya lagi. Raja menjadi bingung. Katanya tidak, mengapa memberi tali? Apa boleh buat, yang penting orang itu mau menolongnya. Raja Mahendra berhasil naik. Ia mengucapkan rasa terima kasih.

“Maukah kau kubawa ke kerajaan?” tawar Raja.
“Tidak!” jawab si penolong.
“Kalau tidak mau, terimalah beberapa keping emas.”
“Tidak!” jawabnya lagi, tetapi tangannya siap menerima.
Akhirnya Raja Mahendra sadar, bahwa orang itu hanya bisa bicara satu kata. Yaitu tidak. Walau berkata tidak, orang itu dibawa juga ke kerajaan. Sampai di kerajaan Raja Mahendra memanggil Patih.

“Paman Patih, tolong berikan pekerjaan pada manusia satu kata ini. Ia hanya bisa berkata, tidak.”
“Mengapa paduka membawa orang yang amat bodoh ini?”
“Walau bodoh, ia telah menolongku ketika terperosok lubang.” Patih berpikir keras. Pekerjaan apa yang sesuai dengan orang ini.

Setelah merenung beberapa saat, Patih tersenyum dan berkata, “Paduka kan bermaksud mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi sang putri. Tetapi sampai kini Paduka belum menemukan jenis sayembaranya.”
“Benar Paman Patih, aku ingin mempunyai menantu yang sakti dan pandai. Tetapi apa hubungannya hal ini dengan sayembara?”

“Peserta yang telah lolos ujian kesaktian, harus mengikuti babak kedua. Yaitu harus bisa memasuki keputren dengan cara membujuk penjaganya.”
“Lalu, siapa yang akan dijadikan penjaga keputren?”
“Manusia satu kata itu, Paduka.”
“Lho, ia amat bodoh. Nanti acara kita berantakan!”
“Percayalah pada hamba, Paduka.”
Pada hari yang ditentukan, peserta sayembara berkumpul di alun-alun. Mereka adalah raja muda dan pangeran dari kerajaan tetangga. Di babak pertama, kesaktian para peserta diuji. Dan, hanya tiga peserta yang berhasil.

Ketiganya lalu dibawa ke depan pintu gerbang keputren. Patih memberi penjelasan pada mereka. Nampaknya mudah. Mereka hanya disuruh membujuk penjaga keputren sehingga dapat masuk keputren.

Peserta hanya boleh mengucapkan tiga pertanyaan.
“Penjaga yang baik. Bolehkah aku masuk keputren?” tanya peserta pertama.
“Tidak!” jawab si manusia satu kata.
“Maukah kuberi emas sebanyak kau mau, asal aku diperbolehkan masuk?”
“Tidak!”

Pertanyaan tinggal satu.
“Kau akan kujadikan Senopati di kerajaanku, asal aku boleh masuk.”
“Tidak!” ujar si manusia satu kata.
Peserta pertama gugur. Ia mundur dengan lemah lunglai. Peserta kedua maju. Ia telah menyusun pertanyaan yang dianggapnya akan berhasil,

“Penjaga, kalau aku boleh masuk keputren, kau akan kunikahkan dengan adikku yang cantik. Setuju?” pertayaan pertama peserta kedua.
“Tidak!”
“Separoh kerajaan kuberikan padamu, setuju?”
“Tidak!”
“Katakan apa yang kau inginkan, asal aku boleh masuk.”
“Tidak!”
Peserta kedua pun mundur dengan kecewa. Mendengar percakapan dua peserta yang tak mampu masuk keputren, Raja Mahendra tersenyum puas. Pandai benar patihku, katanya dalam hati.
Peserta terakhir maju.

Semua penonton termasuk Raja Mahendra memperhatikan dengan seksama. Raja muda itu tampak percaya diri. Langkahnya tegap penuh keyakinan.

“Wahai penjaga keputren, jawablah pertanyaanku baik-baik. Tidak dilarangkah aku masuk keputren?” tanyanya dengan suara mantap. Raja Mahendra, Patih, dan penonton terkejut dengan pertanyaan itu.

Dengan mantap pula penjaga menjawab.
“Tidak!” Seketika itu sorak-sorai penonton bergemuruh, mengiringi kebehasilan peserta terakhir. Si raja muda yang gagah lagi tampan. Raja Mahendra sangat senang dengan keberhasilan itu. Calon menantunya sakti dan pandai.

Sayembara usai. Manusia satu kata berjasa lagi pada Raja Mahendra. Ia dapat menyeleksi calon menantu yang pandai. Walau bodoh, Raja Mahendra tetap mempekerjakannya sebagai penjaga keputren.
Read More

Snowdrop

01.21 |

It was the middle of winter, when the broad flakes of snow were  falling around, that the  queen  of a country many thousand miles off sat working at her window. The frame of the window was made of fine black ebony, and as she sat looking out upon the snow, she pricked her finger, and three  drops of blood  fell upon  it.  Then  she  gazed thoughtfully upon the red drops that sprinkled the white snow, and said, ‘Would that my little daughter may be as white as that snow, as red as that blood, and as black as this ebony windowframe!’ And so the little girl really did grow up; her skin was as white as snow, her cheeks as rosy as the blood, and her hair as black as ebony; and she was called Snowdrop.
But this queen died; and the king soon married another wife,  who  became queen, and was very beautiful, but so vain that she could not bear to think that anyone could be handsomer than she was. She had a fairy looking-glass, to which  she used to  go,  and  then  she would  gaze upon herself in it, and say:


’Tell me, glass, tell me true! Of all the ladies in the land, Who is fairest, tell me, who?’

And the glass had always answered:
’Thou, queen, art the fairest in all the land.’

But Snowdrop  grew  more  and  more  beautiful; and when she was seven years old she was as bright as the day, and fairer than the  queen herself. Then the glass one day answered the queen, when she went to look in it as usual:
’Thou, queen, art fair, and beauteous to see, But Snowdrop is lovelier far than thee!’

When she heard this she turned  pale with  rage and envy,  and  called to one of her servants, and said, ‘Take Snowdrop away into the wide wood, that I may never see her any more.’ Then  the  servant led her away; but  his heart melted when  Snowdrop begged  him  to  spare her life, and he said, ‘I will not hurt you, thou pretty  child.’ So he left her by herself; and though he thought it most likely that the wild beasts would tear her in pieces, he felt as if a great weight were taken off his heart when he had made up his mind not  to kill her but to leave her to her fate, with the chance of someone finding and saving her.
Then  poor  Snowdrop  wandered  along  through  the wood in  great fear; and the wild beasts roared about her,


but none did her any harm. In the evening she came to a cottage among the hills, and went in to rest, for her little feet would carry  her no further. Everything was  spruce and neat in the cottage: on  the table was spread a white cloth, and there were seven little plates, seven little loaves, and  seven little  glasses with  wine  in  them;  and  seven knives and forks laid in order; and by the wall stood seven little  beds. As she was very hungry,  she picked a little piece of each loaf and drank a very little wine out of each glass; and after that  she thought she would lie down and rest. So she tried all the little beds; but one was too long, and another was too short, till at last  the seventh suited her: and there she laid herself down and went to sleep.
By and by in came the masters of the cottage. Now they  were   seven  little  dwarfs,  that  lived  among  the mountains, and dug  and  searched for gold. They lighted up their seven lamps, and saw  at once that all was not right. The first said, ‘Who has been sitting  on my stool?’ The  second, ‘Who  has been  eating off my plate?’  The third,  ‘Who  has been  picking my  bread?’ The  fourth,
‘Who  has been  meddling  with  my  spoon?’ The  fifth,
‘Who has been handling my fork?’ The sixth, ‘Who has been cutting with my knife?’ The seventh, ‘Who has been drinking my wine?’ Then the first looked round and said,


‘Who has been  lying on  my  bed?’ And  the  rest came running  to  him, and everyone cried out  that somebody had been upon his  bed. But the seventh saw Snowdrop, and called all his brethren to  come and see her; and they cried out with wonder and astonishment and brought their lamps to  look at her,  and said, ‘Good heavens!  what a lovely child she is!’ And they were very glad to see her, and took care not to wake her; and the seventh dwarf slept an hour  with  each of the  other  dwarfs in turn,  till the night was gone.
In the morning Snowdrop told them all her story; and they  pitied  her, and said if she would keep all things in order, and cook and wash and knit and spin for them, she might stay where she was, and they would take good care of her. Then  they went out all day  long to their work, seeking  for   gold   and   silver  in   the   mountains:  but Snowdrop was left at home;  and they warned her,  and said, ‘The queen will soon find out where you are, so take care and let no one in.’
But the queen, now that she thought  Snowdrop was dead, believed that she must be the handsomest lady in the land; and she went to her glass and said:


’Tell me, glass, tell me true! Of all the ladies in the land, Who is fairest, tell me, who?’

And the glass answered:
’Thou, queen, art the fairest in all this land: But over the hills, in the greenwood shade,
Where the seven dwarfs their dwelling have made, There Snowdrop is hiding her head; and she
Is lovelier far, O queen! than thee.’

Then  the  queen  was very much  frightened; for  she knew  that  the glass always spoke the truth, and was sure that the servant had betrayed her. And she could not bear to think that anyone lived  who was more beautiful than she was; so she dressed herself  up as  an old pedlar, and went her way over the hills, to the place where the dwarfs dwelt. Then  she knocked at the  door,  and cried, ‘Fine wares to sell!’ Snowdrop looked out at the window, and said, ‘Good  day, good woman! what have you to  sell?’
‘Good wares, fine wares,’ said she; ‘laces and bobbins of all colours.’ ‘I will let the old lady in; she seems to be a very good sort of body,’  thought Snowdrop, as she ran down and unbolted the door. ‘Bless  me!’ said the old woman,
‘how badly your stays are laced! Let me lace them up with one of  my  nice new laces.’ Snowdrop did not dream of any mischief; so she stood before the old woman; but she


set to work so nimbly, and pulled the lace so tight, that Snowdrop’s breath was stopped, and she fell down as if she were dead. ‘There’s an  end  to  all thy beauty,’ said the spiteful queen, and went away home.
In the  evening the  seven dwarfs came home;  and I need not  say how grieved they were to see their faithful Snowdrop stretched  out upon  the ground, as  if she was quite dead. However, they  lifted  her up, and when they found what ailed her, they cut the lace; and in a little time she began to breathe, and very soon came to life  again. Then  they said, ‘The old woman was the queen herself; take  care another time, and let no one in when we are away.’
When the queen got home, she went straight to her glass, and spoke to it as before; but to her great grief it still said:
’Thou, queen, art the fairest in all this land: But over the hills, in the greenwood shade,
Where the seven dwarfs their dwelling have made, There Snowdrop is hiding her head; and she
Is lovelier far, O queen! than thee.’

Then the blood ran cold in her heart with spite and malice, to  see that Snowdrop still lived; and she dressed herself up again, but  in  quite another dress from the one


she wore  before, and took  with  her  a poisoned comb. When she reached the dwarfs’ cottage, she knocked at the door, and cried, ‘Fine wares to sell!’ But Snowdrop said, ‘I dare not let anyone in.’ Then the queen said, ‘Only look at my beautiful combs!’ and gave her the  poisoned one. And it looked so pretty, that she took it up and put it into her hair to try it; but the moment it touched her head, the poison was so powerful that she fell down senseless. ‘There you may lie,’ said  the queen, and went her way. But by good luck the dwarfs came in very early that evening; and when  they  saw Snowdrop  lying  on  the  ground,  they thought what had happened, and soon found the poisoned comb. And when they took it away she got well, and told them all that had passed; and they warned her once more not to open the door to anyone.
Meantime  the  queen  went  home  to  her  glass, and shook  with rage when she read the very same answer as before; and she said, ‘Snowdrop shall die, if it cost me my life.’ So she went by  herself  into her chamber, and got ready a poisoned apple: the  outside  looked very rosy and tempting, but whoever tasted it was sure to die. Then she dressed herself up as  a peasant’s  wife, and  travelled over the hills to the dwarfs’ cottage, and knocked at the door; but Snowdrop put her head out of the window and said, ‘I


dare not let anyone in, for the dwarfs have told me not.’
‘Do as you please,’ said the old woman, ‘but at any rate take  this  pretty  apple;  I  will  give  it  you.’  ‘No,’  said Snowdrop, ‘I dare  not take it.’ ‘You silly girl!’ answered the  other,  ‘what are you  afraid of? Do  you  think  it  is poisoned? Come! do you eat one part,  and I will eat the other.’ Now  the apple was so made up that one side was good,    though     the     other     side    was    poisoned.    Then Snowdrop  was much  tempted  to  taste,   for  the  apple looked so very nice; and when she saw the old  woman eat, she could wait no longer. But she had scarcely put the piece into her mouth, when she fell down dead upon the ground. ‘This time nothing will save thee,’ said the queen; and she went home to her glass, and at last it said:
’Thou, queen, art the fairest of all the fair.’
And then her wicked heart was glad, and as happy as such a heart could be.
When evening came, and the dwarfs had gone home, they  found  Snowdrop  lying on  the  ground:  no  breath came from her lips, and they were afraid that she was quite dead.  They  lifted  her  up,  and  combed  her  hair,  and washed her face with wine and water; but all was in vain, for the little girl seemed quite dead. So they laid her down upon a bier, and all seven watched and bewailed her three


whole days; and then they thought they would bury her: but her cheeks were still rosy; and her face looked just as it did while she was alive; so they said, ‘We will never bury her in the cold ground.’ And they made a coffin of glass, so that they might still look at her, and  wrote upon it in golden letters what  her  name  was, and  that  she  was a king’s daughter. And the coffin was set among the hills, and  one of the dwarfs always sat by it and watched. And the birds of the  air came too, and bemoaned Snowdrop; and first of all came an owl, and then a raven, and at last a dove, and sat by her side.
And thus Snowdrop lay for a long, long time, and still only  looked as  though she was asleep; for she was even now as white as snow, and as red as blood, and as black as ebony.  At last a prince  came and called at the  dwarfs’ house; and he saw Snowdrop, and read what was written in golden letters. Then he offered the dwarfs money, and prayed and besought them to let him take her away; but they said, ‘We will not part with her for all the gold in the world.’ At last, however, they had pity on him, and gave him the coffin; but the moment he lifted it up to carry it home with him, the piece of apple fell from between her lips, and Snowdrop awoke, and said,  ‘Where am I?’ And the prince said, ‘Thou art quite safe with me.’


Then he told her all that had happened, and said, ‘I love you far better than all the world; so come with me to my  father’s palace,   and  you  shall be  my  wife.’ And Snowdrop  consented, and went  home  with  the  prince; and  everything  was  got  ready  with  great   pomp  and splendour for their wedding.
To the feast was asked, among the rest, Snowdrop’s old enemy  the  queen; and as she was dressing herself in fine rich clothes, she looked in the glass and said:
’Tell me, glass, tell me true! Of all the ladies in the land, Who is fairest, tell me, who?’

And the glass answered:
’Thou, lady, art loveliest here, I ween; But lovelier far is the new-made queen.’

When she heard this she started with rage; but her envy and curiosity were so great, that she could not help setting out to see the bride. And when she got there, and saw that it was no other than Snowdrop, who, as she thought, had been dead a long while, she  choked with rage, and fell down and died: but Snowdrop and the  prince lived and reigned  happily over  that  land many,  many  years;  and sometimes they went up into the mountains, and paid a


visit to  the  little  dwarfs,  who  had  been  so  kind  to
Snowdrop in her time of need.
Read More

Asal Usul Danau Maninjau

01.21 |

Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang luas. Apa gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Danau Maninjau berikut ini!
Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.
Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.
Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.
Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.
“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.
Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karenahal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.
“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.
“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.
“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.
“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.
“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.
“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.
“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang.
“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.
“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.
“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.
Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.
“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.
“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.
“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.
“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.
“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat
Sumber: Buku Cerita Rakyat
Dikirim Oleh: Reyhan Chaniago (sias_blaankxxxxxxx@yahoo.co.id)
Read More

Sigarlaki dan Limbat

01.20 |

Pada jaman dahulu di Tondano (Minahas, Sulawesi Utara) hiduplah seorang pemburu perkasa yang bernama Sigarlaki. Ia sangat terkenal dengan keahliannya menombak. Tidak satupun sasaran yang luput dari tombakannya.
Sigarlaki mempunyai seorang pelayan yang sangat setia yang bernama Limbat. Hampir semua pekerjaan yang diperintahkan oleh Sigarlaki dikerjakan dengan baik oleh Limbat. Meskipun terkenal sebagai pemburu yang handal, pada suatu hari mereka tidak berhasil memperoleh satu ekor binatang buruan. Kekesalannya akhirnya memuncak ketika Si Limbat melaporkan pada majikannya bahwa daging persediaan mereka di rumah sudah hilang dicuri orang.
Tanpa pikir panjang, si Sigarlaki langsung menuduh pelayannya itu yang mencuri daging persediaan mereka. Si Limbat menjadi sangat terkejut. Tidak pernah diduga majikannya akan tega menuduh dirinya sebagai pencuri.
Lalu Si Sigarlaki meminta Si Limbat untuk membuktikan bahwa bukan dia yang mencuri. Caranya adalah Sigarlaki akan menancapkan tombaknya ke dalam sebuah kolam. Bersamaan dengan itu Si Limbat disuruhnya menyelam. Bila tombak itu lebih dahulu keluar dari kolam berarti Si Limbat tidak mencuri. Apabila Si Limbat yang keluar dari kolam terlebih dahulu maka terbukti ia yang mencuri.
Syarat yang aneh itu membuat Si Limbat ketakutan. Tetapi bagaimanapun juga ia berkehendak untuk membuktikan dirinya bersih. Lalu ia pun menyelam bersamaan dengan Sigarlaki menancapkan tombaknya.
Baru saja menancapkan tombaknya, tiba-tiba Sigarlaki melihat ada seekor babi hutan minum di kolam. Dengan segera ia mengangkat tombaknya dan dilemparkannya ke arah babi hutan itu. Tetapi tombakan itu luput. Dengan demikian seharusnya Si Sigarlaki sudah kalah dengan Si Limbat. Tetapi ia meminta agar pembuktian itu diulang lagi.
Dengan berat hati Si Limbat pun akhirnya mengikuti perintah majikannya. Baru saja menancapkan tombaknya di kolam, tiba-tiba kaki Sigarlaki digigit oleh seekor kepiting besar. Iapun menjerit kesakitan dan tidak sengaja mengangkat tombaknya. Dengan demikian akhirnya Si Limbat yang menang. Ia berhasil membuktikan dirinya tidak mencuri. Sedangkan Sigarlaki karena sembarangan menuduh, terkena hukuman digigit kepiting besar.
Sumber: seasite.niu.edu (Diadaptasi secara bebas dari Drs. J Inkiriwang dkk, “Sigarlaki dan si Limbat,” Dept. P dan K, Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Utara, Jakarta: Dept. P dan K, 1978/1979)
Read More

Malin Kundang

01.20 |

Malin Kundang adalah cerita rakyat yang berasal dari provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Legenda Malin Kundang berkisah tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi batu. Sebentuk batu di pantai Air Manis, Padang, konon merupakan sisa-sisa kapal Malin Kundang.
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Karena merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Malin memutuskan untuk pergi merantau agar dapat menjadi kaya raya setelah kembali ke kampung halaman kelak.
Awalnya Ibu Malin Kundang kurang setuju, mengingat suaminya juga tidak pernah kembali setelah pergi merantau tetapi Malin tetap bersikeras sehingga akhirnya dia rela melepas Malin pergi merantau dengan menumpang kapal seorang saudagar.Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang beruntung, dia sempat bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu sehingga tidak dibunuh oleh para bajak laut.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan tenaga yang tersisa, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin yang melihat kedatangan kapal itu ke dermaga melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Ibu Malin pun menuju ke arah kapal. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. “Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi melihat wanita tua yang berpakaian lusuh dan kotor memeluknya Malin Kundang menjadi marah meskipun ia mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya, karena dia malu bila hal ini diketahui oleh istrinya dan juga anak buahnya.
Mendapat perlakukan seperti itu dari anaknya ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menyumpah anaknya “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”.
Tidak berapa lama kemudian Malin Kundang kembali pergi berlayar dan di tengah perjalanan datang badai dahsyat menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang. Sampai saat ini Batu Malin Kundang masih dapat dilihat di sebuah pantai bernama pantai Aia Manih, di selatan kota Padang, Sumatera Barat.
Read More

Asal Usul Burung Ruai

01.19 |

Konon pada zaman dahulu di daerah Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), tepatnya di pedalaman benua Bantahan sebelah Timur Kota Sekura Ibukota Kecamatan Teluk Keramat yang dihuni oleh Suku Dayak, telah terjadi peristiwa yang sangat menakjubkan untuk diketahui dan menarik untuk dikaji, sehingga peristiwa itu diangkat ke permukaan.
Menurut informasi orang bahwa di daerah tersebut terdapat sebuah kerajaan yang kecil, letaknya tidak jauh dari Gunung Bawang yang berdampingan dengan Gunung Ruai. Tidak jauh dari kedua gunung dimaksud terdapatlah sebuah gua yang bernama “Gua Batu”, di dalamnya terdapat banyak aliran sungai kecil yang di dalamnya terdapat banyak ikan dan gua tersebut dihuni oleh seorang kakek tua renta yang boleh dikatakan sakti.
Cerita dimulai dengan seorang raja yang memerintah pada kerajaan di atas dan mempunyai tujuh orang putri, raja itu tidak mempunyai istri lagi sejak meninggalnya permaisuri atau ibu dari ketujuh orang putrinya. Di antara ketujuh orang putri tersebut ada satu orang putri raja yang bungsu atau Si Bungsu. Si Bungsu mempunyai budi pekerti yang baik, rajin, suka menolong dan taat pada orang tua, oleh karena itu tidak heran sang ayah sangat menyayanginya. Lain pula halnya dengan keenam kakak-kakaknya, perilakunya sangat berbeda jauh dengan Si Bungsu, keenam kakaknya mempunyai hati yang jahat, iri hati, dengki, suka membantah orang tua, dan malas bekerja. Setiap hari yang dikerjakannya hanya bermain-main saja.
Dengan kedua latar belakang inilah, maka sang ayah (raja) menjadi pilih kasih terhadap putri-putrinya. Hampir setiap hari keenam kakak Si Bungsu dimarah oleh ayahnya, sedangkan Si Bungsu sangat dimanjakannya. Melihat perlakuan inilah maka keenam kakak Si Bungsu menjadi dendam, bahkan benci terhadap adik kandungnya sendiri, maka bila ayahnya tidak ada di tempat, sasaran sang kakak adalah melampiaskan dendam kepada Si Bungsu dengan memukul habis-habisan tanpa ada rasa kasihan sehingga tubuh Si Bungsu menjadi kebiru-biruan dan karena takut dipukuli lagi Si Bungsu menjadi takut dengan kakaknya.
Untuk itu segala hal yang diperintahkan kakaknya mau tidak mau Si Bungsu harus menurut seperti: mencuci pakaian kakaknya, membersihkan rumah dan halaman, memasak, mencuci piring, bahkan yang paling mengerikan lagi, Si Bungsu biasa disuruh untuk mendatangkan beberapa orang taruna muda untuk teman/menemani kakaknya yang enam orang tadi. Semua pekerjaan hanya dikerjakan Si Bungsu sendirian sementara ke enam orang kakaknya hanya bersenda gurau saja.
Sekali waktu pernah akibat perlakuan keenam kakaknya itu terhadap Si Bungsu diketahui oleh sang raja (ayah) dengan melihat badan (tubuh) Si Bungsu yang biru karena habis dipukul tetapi takut untuk mengatakan yang sebenarnya pada sang ayah, dan bila sang ayah menanyakan peristiwa yang menimpa Si Bungsu kepada keenam kakaknya maka keenam orang kakaknya tersebut membuat alasan-alasan yang menjadikan sang ayah percaya seratus persen bahwa tidak terjadi apa-apa. Salah satu yang dibuat alasan sang kakak adalah sebab badan Si Bungsu biru karena Si Bungsu mencuri pepaya tetangga, kemudian ketahuan dan dipukul oleh tetangga tersebut. Karena terlalu percayanya sang ayah terhadap cerita dari sang kakak maka sang ayah tidak memperpanjang permasalahan dimaksud.
Begitulah kehidupan Si Bungsu yang dialami bersama keenam kakaknya, meskipun demikian Si Bungsu masih bersikap tidak menghadapi perlakuan keenam kakaknya, kadang-kadang Si Bungsu menangis tersedu-sedu menyesali dirinya mengapa ibunya begitu cepat meninggalkannya. sehingga ia tidak dapat memperoleh perlindungan. Untuk perlindungan dari sang ayah boleh dikatakan masih sangat kurang. Karena ayahnya sibuk dengan urusan kerajaan dan urusan pemerintahan.
Setelah mengalami hari-hari yang penuh kesengsaraan, maka pada suatu hari berkumpullah seluruh penghuni istana untuk mendengarkan berita bahwa sang raja akan berangkat ke kerajaan lain untuk lebih mempererat hubungan kekerabatan diantara mereka selama satu bulan. Ketujuh anak (putrinya) tidak ketinggalan untuk mendengarkan berita tentang kepergian ayahnya tersebut. Pada pertemuan itu pulalah diumumkan bahwa kekuasaan sang raja selama satu bulan itu dilimpahkan kepada Si Bungsu, yang penting bila sang raja tidak ada di tempat, maka masalah-masalah yang berhubungan dengan kerajaan (pemerintahan) harus mohon (minta) petunjuk terlebih dahulu dari Si Bungsu. Mendengar berita itu, keenam kakaknya terkejut dan timbul niat masing-masing di dalam hati kakaknya untuk melampiaskan rasa dengkinya, bila sang ayah sudah berangkat nanti. Serta timbul dalam hati masing-masing kakaknya mengapa kepercayaan ayahnya dilimpahkan kepada Si Bungsu bukan kepada mereka.
Para prajurit berdamping dalam keberangkatan sang raja sangat sibuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Maka pada keesokan harinya berangkatlah pasukan sang raja dengan bendera dan kuda yang disaksikan oleh seluruh rakyat kerajaan dan dilepas oleh ketujuh orang putrinya.
Keberangkatan sang ayah sudah berlangsung satu minggu yang lewat. Maka tibalah saatnya yaitu saat-saat yang dinantikan oleh keenam kakaknya Si Bungsu untuk melampiaskan nafsu jahatnya yaitu ingin memusnahkan Si Bungsu supaya jangan tinggal bersama lagi dan bila perlu Si Bungsu harus dibunuh. Tanda-tanda ini diketahui oleh Si Bungsu lewat mimpinya yang ingin dibunuh oleh kakanya pada waktu tidur di malam hari.
Setelah mengadakan perundingan di antara keenam kakaknya dan rencanapun sudah matang, maka pada suatu siang keenam kakak di bungsu tersebut memanggil Si Bungsu, apakah yang dilakukannya?. Ternyata keenam kakanya mengajak Si Bungsu untuk mencari ikan (menangguk) yang di dalam bahasa Melayu Sambas mencari ikan dengan alat yang dinamakan tangguk yang dibuat dari rotan dan bentuknya seperti bujur telur (oval). Karena sangat gembira bahwa kakaknya mau berteman lagi dengannya, lalu Si Bungsu menerima ajakan tersebut. Padahal dalam ajakan tersebut terselip sebuah balas dendam kakaknya terhadap Si Bungsu, tetapi Si Bungsu tidak menduga hal itu sama sekali.
Tanpa berpikir panjang lagi maka berangkatlah ketujuh orang putri raja tersebut pada siang itu, dengan masing-masing membawa tangguk dan sampailah mereka bertujuh di tempat yang akan mereka tuju (lokasi menangguk), yaitu gua batu, Si Bungsu disuruh masuk terlebih dahulu ke dalam gua, baru diikuti oleh keenam kakaknya. Setelah mereka masuk, Si Bungsu disuruh berpisah dalam menangguk ikan supaya mendapat lebih banyak dan ia tidak tahu bahwa ia tertinggal jauh dengan kakak-kakanya.
Si Bungsu sudah berada lebih jauh ke dalam gua, sedangkan keenam kakaknya masih saja berada di muka gua dan mendoakan supaya Si Bungsu tidak dapat menemukan jejak untuk pulang nantinya. Keenam kakaknya tertawa terbahak-bahak sebab Si Bungsu telah hilang dari penglihatan. Suasana gua yang gelap gulita membuat Si Bungsu menjadi betul-betul kehabisan akal untuk mencari jalan keluar dari gua itu. Tidak lama kemudian keenam kakaknya pulang dari gua batu menuju rumahnya tanpa membawa Si Bungsu dan pada akhirnya Si Bungsu pun tersesat.
Merasa bahwa Si Bungsu telah dipermainkan oleh kakaknya tadi, maka tinggallah ia seorang diri di dalam gua batu tersebut dan duduk bersimpuh di atas batu pada aliran sungai dalam gua untuk meratapi nasibnya yang telah diperdayakan oleh keenam kakaknya, Si Bungsu hanya dapat menangis siang dan malam sebab tidak ada satupun makhluk yang dapat menolong dalam gua itu kecuali keadaan yang gelap gulita serta ikan yang berenang kesana kemari.
Bagaimana nasib Si Bungsu? tanpa terasa Si Bungsu berada dalam gua itu sudah tujuh hari tujuh malam lamanya, namun ia masih belum bisa untuk pulang, tepatnya pada hari ketujuh Si Bungsu berada di dalam gua itu, tanpa disangka-sangka terjadilah peristiwa yang sangat menakutkan di dalam gua batu itu, suara gemuruh menggelegar-gelegar sepertinya ingin merobohkan gua batu tersebut, Si Bungsu pun hanya bisa menangis dan menjerit-jerit untuk menahan rasa ketakutannya, maka pada saat itu dengan disertai bunyi yang menggelegar muncullah seorang kakek tua renta yang sakti dan berada tepat di hadapan Si Bungsu, lalu Si Bungsu pun terkejut melihatnya, tak lama kemudian kakek itu berkata,” Sedang apa kamu disini cucuku?”, lalu Si Bungsu pun menjawab,” Hamba ditinggalkan oleh kakak-kakak hamba, kek!”, maka Si Bungsu pun menangis ketakutan sehingga air matanya tidak berhenti keluar, tanpa diduga-duga pada saat itu dengan kesaktian kakek tersebut titik-titik air mata Si Bungsu secara perlahan-lahan berubah menjadi telur-telur putih yang besar dan banyak jumlahnya, kemudian Si Bungsu pun telah diubah bentuknya oleh si kakek sakti menjadi seekor burung yang indah bulu-bulunya. Si Bungsu masih bisa berbicara seperti manusia pada saat itu, lalu kakek itu berkata lagi, “Cucuku aku akan menolong kamu dari kesengsaraan yang menimpa hidupmu tapi dengan cara engkau telah kuubah bentukmu menjadi seekor burung dan kamu akan aku beri nama Burung Ruai, apabila aku telah hilang dari pandanganmu maka eramlah telur-telur itu supaya jadi burung-burung sebagai temanmu!”. Kemudian secara spontanitas Si Bungsu telah berubah menjadi seekor burung dengan menjawab pembicaraan kakek sakti itu dengan jawaban kwek … kwek … kwek … kwek …. kwek, Bersamaan dengan itu kakek sakti itu menghilang bersama asap dan burung ruai yang sangat banyak jumlahnya dan pada saat itu pula burung-burung itu pergi meninggalkan gua dan hidup di pohon depan tempat tinggal Si Bungsu dahulu, dengan bersuara kwek … kwek …. kwek … kwek …. kwek, Mereka menyaksikan kakak-kakak Si Bungsu yang dihukum oleh ayahnya karena telah membunuh Si Bungsu.
Sumber: sambas.go.id
Read More